Selasa, 31 Maret 2015

(Cerpen) Si Penghujung Senja


Cerpen ini sebenernya gak mau di publish tapi berhubung utang ke April, jadi berakhir di postingan ini XD.


"Bukan untuk sembarang hatiAku katakan ini
Sungguh aku cinta kamu
 - She Bukan Untuk Sembarang Hati"


"Bila aku tak berujung denganmu
Biarkan kisah ini ku kenang selamanya
Tuhan tolong buang rasa cintaku
Jika tak kau ijinkan aku bersamanya 
- She Apalah Arti Cinta"





Si Penghujung Senja


Aku menyukainya bukan karena parasnya yang terlampau tampan.
Aku mencintainya bukan karena wawasan yang dia tahu terlampau luas.
Aku menyayanginya bukan karena materi yang dia punya terlampau melimpah.
Tidak. Bukan itu yang membuatku menginginkannya. Satu kejadian kecil yang membuatku jatuh pada sosok yang dari awal aku tahu dimana tempatku seharusnya berada. Kejadian yang terjadi saat mentari yang gagah menyerahkan tahtanya pada malam yang anggun. Senja.
***
September 2014
Kulirik jam dipojok kanan bawah komputerku. 18:00 wib. Langit yang diselimuti jingga-nya mega nampak cantik menyatu dengan suara bising kendaraan di kawasan perkantoran halim perdanakusuma. Kantor yang beroperasional sampai pukul lima sore ini hanya nampak aku dan seseorang yang hanya bisa kulihat punggungnya itu.
“Mas Aldi gak pulang? Tumben jam segini masih dikantor” Tanyaku melihat punggung pria itu, karena memang pria ini bukan tipe yang suka menghabiskan waktu lama dikantor. Bila jam sudah menunjukkan pukul lima sore dia akan segera pulang keperaduannya tapi kali ini berbeda.
Dia menoleh “Belum. Masih ada yang harus dikerjain”.
Aku mengangguk dan kembali melanjutkan pekerjaan.
“Pulang jam berapa Mbak Mawar?” Tanya Mas Aldi yang membuatku menoleh.
“Gak tahu, masih banyak banget. Mas Aldi mau pulang?” Tanyaku.
“Pulang sama siapa?” Tanyanya lagi.
“Paling minta anterin OB sampai Cawang. Mas Aldi pulang duluan saja, gak apa-apa kok” Kataku.
Dia tidak menggubrisku dan kembali melihat kearah laptopnya. Kulirik jam dan waktu menunjukkan pukul 19:00 wib.
“Pulang jam berapa?” Tanya Mas Aldi lagi
“Belum tahu, masih banyak banget kerjaan aku” Kujawab jujur
Tanpa menggubrisku lagi, dia kembali melihat kearah laptopnya. Setengah jam berlalu, dia terlihat merapihkan laptop dan memasukkannya kedalam tas. Aku melihatnya saat dia berjalan didepan mejaku.
“Mau bareng gak?” Tawarnya
Aku menggeleng “Gak usah, Mas Aldi pulang duluan saja gak apa-apa kok. Nanti aku minta dianterin OB saja”
“Beneran nih gak mau bareng?” Tawarnya lagi
Aku tetap menggeleng tapi dengan ketidakpastian yang kini menyerang hatiku “Enggak, Mas Aldi duluan saja. Gak apa-apa”.
“Ya sudah” Mas Aldi berjalan menuju pintu keluar.
Aku mengantarnya keluar dan ketidakpastian ini semakin membulat. Apakah aku harus ikut dengannya atau tidak? Bagaimana kalau OB yang akan mengantarku sudah pulang? Dikantor seorang diri malam-malam begini? Sudah malam juga?. Kulihat wajahnya saat membuka pintu keluar. Dengan langkah perlahan dia menoleh kearahku dan tersirat ekspresi wajahnya mengatakan “yakin tidak mau bareng?”. Aku menatapnya ragu dan dia sepertinya membaca ekspresiku.
“Beneran gak mau bareng?” Tawarnya lagi
“Ya sudah deh aku ikut Mas Aldi, tapi aku beres-beres dulu sebentar” Kataku yang membuatnya masuk kembali kedalam kantor dan menungguku membereskan meja kantor yang berantakan.
Malam itu awal kedekatan kami. Malam itu awal canda gurau kami dan malam itu merupakan awal perasaan yang tak pernah kusadari. Dengan hembusan angin malam yang sejuk di malam yang cerah, Mas Aldi dengan tegap berdiri didepan jalan sambil memainkan tangannya memanggil taksi. Untuk pertama kalinya, malam itu aku duduk berdampingan dengannya dikursi belakang taksi berwarna biru. Dan untuk pertama kalinya juga perhatian kecil yang dia lakukan membuat hangat salah satu organ tubuhku yang biasa kusebut, hati.
***
Oktober  2014
Hari bergulir dan membawa bulan kesepuluh pada permukaan. Dari hari ke hari sejak kejadian malam itu aku semakin dekat dengan sosok yang tak pernah kukira akan sangat kudamba. Tak pernah ragu kita bercanda, tertawa, mengejek, mencubit, menyentak, menakut-nakuti, membuat julukan-julukan aneh atau bahkan sekedar menjulurkan lidah. Rasanya ada yang kurang bila tak melakukan itu sehari saja dengannya. Sosok 26 tahun dengan kelakuan 6 tahun. Mas Aldi adalah mood booster untuk kantor dengan segala intrik internal didalamnya. Mas Aldi terlalu baik pada semua orang yang dikenalnya, itu yang membuat logikaku merangkak bahwa hal manis dan perhatian kecil yang dia lakukan padaku pasti akan diakukan juga pada orang lain.
Kutepis segala sesuatu yang dapat membesarkan hatiku akan perbuatannya. Karena aku tahu, dia akan berbuat baik pada semua orang bukan hanya padaku. Mengetahui kenyataan itu saja sudah membuatku lelah. Lelah mengatur hati dan pikiranku, lelah mengkondisikan perasaan dan logikaku untuk berjalan selaras. Saat perasaanku melayang karena perhatian kecilnya, logikaku menampar dan mengatakan “Dia memperlakukan semua orang sama seperti dia memperlakukanmu. So stop blooming”. Dan aku sadar, perasaan dan logika tidak akan pernah berhubungan baik.
Sampai akhirnya, pertarungan perasaan dan logika ini dimenangkan oleh logika saat aku memutuskan untuk mengenalkannya pada salah satu sahabatku yang kukira masuk salah satu kriteria Mas Aldi yaitu wanita bermata sipit.
Kalian mungkin bertanya kenapa aku mengenalkannya pada orang lain sedang aku juga sangat menginginkannya? karena aku tahu diri. Selain aku sama sekali tidak masuk dalam kategori wanita yang diidamkannya, kasta kami juga jauh berbeda. Dia terlampau kaya dengan materi yang melimpah, dia dari golongan orang berada yang bahkan sebagai temannya-pun aku merasa minder, sedang aku? aku hanya gadis dari kalangan keluarga sederhana. Lihatlah betapa logika kini berkuasa.
Puma, Nike, Iphone itulah kau. Sedang aku hanyalah barang murahan” inilah perbandingan kami. Menyedihkan. Tapi dari pernyataan yang kutulis disalah satu media sosial itu, menyadarkanku bahwa aku benar-benar tenggelam dalam perasaanku padanya. Perasaan lebih dari sekedar kagum pada sosok yang amat dicintai oleh semua orang karena kelakukan minus-nya itu. Saat aku terus memaksanya untuk mengenalkannya dengan sahabatku tapi saat itu juga dia terus menolak untuk dikenalkan, sampai akhirnya aku lelah sendiri untuk memaksakan kehendakku. Dan membiarkan perasaanku terus tumbuh subur dan berkembang membentuk pohon berbentuk hati yang biasa kusebut cinta.
***
November 2014
Walaupun bulan sebelas bukan merupakan musim hujan kala itu, tapi tidak cukup kuat membuat hatiku untuk tidak menjadi biru. Malam itu tanggal 22 November, kami sholat berjamaah dan setelah selesai, entah perasaan apa yang menghampiriku untuk melihat punggungnya. Rasanya nikmat sekali menggelar sajadah dibelakangnya dan menatap punggungnya seperti malam itu. Tanpa ada pikiran apapun kutengadahkan tangan dengan masih tetap menatap punggungnya, kuhaturkan doa kepada Tuhan sang Maha Cinta.
Dekatkan dia bila memang dia baik untukku tapi jauhkan dia bila memang dia tidak baik untukku.
Selang sehari setelah doa yang kuucapkan itu. Aku ingat hari itu, senja di hari senin tanggal 24 November. Tak seperti biasa, dia menganggap ritual pulang kami hanya aktivitas biasa tanpa memikirkan imbas apa yang terjadi padaku, pada hatiku. Dia pulang tanpa pamit bahkan tak menoleh sedikitpun kearah mejaku. Apakah ada yang salah yang kulakukan hari itu?
“Mas Aldi marah sama aku?” Kugunakan aplikasi chatting di Android
“Yailah, kayak anak SMA saja” Balasnya
Tapi sikapnya tetap dingin padaku semenjak hari itu. Walau dia bersikeras mengatakan bila dia tak marah, tapi aku tahu dia memendam emosi padaku. Karena dia mengingatkanku pada diriku sendiri. Kalau dia marah, dia hanya akan diam kepada orang yang dia tidak suka. Serupa denganku. Adakah yang salah denganku bila sekarang dia diam padaku?.
Aku kehilangannya bahkan saat dia tak berjarak satu meter dariku. Aku merindukannya bahkan saat seharian kami bersama. Aku kesepian bahkan saat dia bercanda dengan yang lain. Tak ada lagi canda itu, tak ada lagi gurauan itu, tak ada lagi ejekan itu, tak ada lagi cubitan itu, tak ada lagi julukan-julukan itu, tak ada lagi juluran lidah itu. Aku merindukannya Tuhan, terima kasih telah mengabulkan doaku.
***
Desember 2014
Akhir tahun 2014 membawa memori tersendiri untukku. Walaupun Mas Aldi telah berubah tak sedingin bulan lalu tapi aku merasa dia memperlakukanku seperti orang asing. Menjaga jarak dariku, menjaga tata bicaranya. Setiap hari yang kulalui sekedar bertegur sapa dengannya, bahkan untuk pulang bersamanya pun enggan.
“Nonton Doraemon yuk” Ajakku pada teman-teman sekantor.
“Hayo, dimana? Kapan?” Mereka menanggapi antusias.
Tanggal 16 desember aku bersama 8 orang teman kantor termasuk Mas Aldi nonton bersama Doraemon ‘Stand by Me’ disalah satu bioskop dikawasan SCBD. Setelah film berakhir, tak pernah terbersit olehku akan terjadi kejadian yang membuatku menangis sejadi-jadinya, membuatku menangis seperti orang gila dikawasan mall elite itu. Bukan, bukan karena aku bertemu dengan orang dimasa lalu yang tidak memilihku tapi karena sikap acuh Mas Aldi disaat aku benar-benar membutuhkannya. Tidak, aku tidak ingin dia mengkasihaniku. Tapi bisakah dia sedikit saja beri perhatian dengan menanyakan keadaanku?. Bukankah didepan matanya aku meraung-raung dipermainkan yang namanya asmara. Tapi kenapa dia menghindar? Bahkan untuk sekedar melirik kearahku pun tidak. Bila kau tak suka padaku, anggaplah aku temanmu. Kau menjadi teman yang baik saat yang lain terpuruk, kau menjadi pendengar yang baik saat yang lain depresi. Kenapa untukku tidak?. Aku baru tahu menyakitkannya rasa yang kusebut kecewa.
***
Januari 2015
Sudah jatuh tertimpa tangga mungkin ungkapan yang tepat untuk keadaan yang kurasakan saat ini. Sudah kehilangan sosok yang amat kuimpikan dan sekarang dia membuatku kecewa. Aku kesal atas perlakuannya, aku marah atas sikapnya. Kudiamkan dia seperti dia mendiamkan aku. Kuperlakukan dia bak orang asing seperti dia memperlakukanku. Tapi semakin kudiamkan dia semakin hati ini sakit, semakin kuperlakukan dia seperti orang asing semakin hati ini patah. Semua kesedihanku, semua kerapuhanku kutumpahkan di malam itu. Malam saat semua orang merayakan pergantian tahun dengan gembira dan suka cita. Aku menangisinya sampai sesak dan tertidur. Aku sedih dia memperlakukanku seperti itu tapi tak sekalipun dia menyapaku menanyakan ada apa. Dia turut serta dalam permainan diam yang memuakkan ini.
Sampai suatu senja di hari selasa tanggal 27 Januari, aku melihatnya dengan keserawutan wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kuhampiri dia dan tersenyum.
“Mas Aldi jangan nyerah” Ucapku
Dia mulai berceloteh panjang lebar tentang keluhan pekerjaannya. Dari permasalahan yang dia tidak dapat atasi, target yang harus dicapai setiap bulan sampai keputusasaan yang menghampirinya. Kami kembali seperti semula, seperti awal kami menjadi dekat di bulan September. Aku menemukan Mas Aldi yang kukenal dulu. Mas Aldi yang membuat hatiku hangat tapi kenapa disaat keputusasaan melingkupinya.
“Mas Aldi” Sapaku di aplikasi chatting android
Opo” Jawabnya
“Jangan resign” kataku
Malam itu kami chatting cukup lama, aku membujuknya untuk tidak menyerah menghadapi masalah ini. Tapi lagi-lagi dia membuatku kesal karena dia terlalu meremehkan dirinya sendiri. Mungkin niatku dari awal salah karena terlalu egois yang tak mau melepaskan dan jauh darinya.
“Saya harus nurut Mawar daripada keluarga dan hati?”
Satu pertanyaan telak tercantum di layar android-ku. Aku tercengang membaca pertanyaan itu. Kenapa rasanya sesak sekali? Kenapa rasanya sedih sekali?. Berbagai emosi terjadi disatu pertanyaan dengan delapan kata yang tergabung menjadi satu itu.
Sampai tanggal 4 februari merupakan hari terakhir kami bertemu. Hari itu farewell party Mas Aldi, aku sudah tak menangisi kepergiannya lagi. Aku sudah tidak bersedih bila besok sudah tidak melihat keceriaan yang dia bawa. Aku sudah tak cengeng lagi bila esok aku tidak akan bercanda dengannya lagi. Aku sudah tidak nanar lagi bila lusa aku tidak bisa meliriknya atau bahkan tersenyum sambil melihat punggungnya. Ya, aku bohong. Aku terpuruk, aku sedih teramat sedih sampai lelah rasanya aku menangis.
Senja di tanggal 5 februari memisahkanku dengan Mas Aldi. Takkan ada lagi cerita senja kami berdua. Takkan ada lagi kisah senja kami bersama. Dan senjapun memang seharusnya hanya menjadi penghantar lelahnya mentari menuju lembutnya malam. Bukan menjadi saksi cinta seorang gadis yang dari awal dia tahu dimana tempatnya berada.
Kulihat mega sore itu dan tersenyum membaca surat yang kubuat untuk Mas Aldi yang bahkan tak sempat kuberikan, Seakan Tuhan memang punya rahasia untuk kami.
Jakarta, 25 desember 2014
Dear Penghujung Senjaku..
Surat ini sengaja aku tulis dan akan kuberikan saat salah satu dari kita resign.
Pasti Mas Aldi bingung kenapa aku sebut Mas Aldi sebagai Penghujung Senja. Karena senja adalah awal mula seorang gadis menyukai seorang pria. Gadis itu aku dan pria itu Mas Aldi. Tenang, aku gak minta balasan apapun tentang perasaanku terhadap Mas Aldi. Aku hanya ingin meluruskan apa yang aku lakukan saat ngediemin Mas Aldi. Aku kecewa sama Mas Aldi karena hanya satu-satunya yang tidak menenangkanku bahkan sekedar menanyakan keadaanku.
Jujur aku masih kesal sampai sekarang, lebih tepatnya sedih banget karena aku merasa tidak diperlakukan secara adil, aku merasa didiskriminasi. Pasti jawaban Mas Aldi ‘Siapa elo’. Please dong jangan gitu, itu nambah sedih tahu.
Surat ini aku sengaja tulis untuk mengutarakan hatiku. Mengatakan yang mengganjal di hati aku kalau aku. Sebenarnya malu sih, tapi besok sudah gak ketemu juga. Aku suka sama Mas Aldi. Aku hanya ingin menggungkapkan tanpa harus ada balasan, cukup balasannya perlakukan aku seperti seorang teman. Jangan bersikap cuek dan acuh, itu benar-benar membuat sedih. Rasanya pengen nangis kalau diperlakuin seperti itu sama Mas Aldi. Jadi perlakukan aku seperti teman ya, Mas ganteng =)



***
Dan mungkin sampai disini kisah Si Penghujung Senja. Tak ada awal sebagai permulaan dan juga tak ada ujung sebagai akhir #GanbaMia XD

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah bacakan.. mari mari cipika cipiki sama yang punya :)

My Image