Cerpen ini sebenernya gak mau di publish tapi berhubung utang ke April, jadi berakhir di postingan ini XD.
"Bukan untuk sembarang hatiAku katakan ini
Sungguh aku cinta kamu
- She Bukan Untuk Sembarang Hati"
"Bila aku tak berujung denganmu
Biarkan kisah ini ku kenang selamanya
Tuhan tolong buang rasa cintaku
Jika tak kau ijinkan aku bersamanya
- She Apalah Arti Cinta"
Si Penghujung Senja
Aku menyukainya bukan karena parasnya
yang terlampau tampan.
Aku mencintainya bukan karena
wawasan yang dia tahu terlampau luas.
Aku menyayanginya bukan karena
materi yang dia punya terlampau melimpah.
Tidak. Bukan itu
yang membuatku menginginkannya. Satu kejadian kecil yang membuatku jatuh pada
sosok yang dari awal aku tahu dimana tempatku seharusnya berada. Kejadian yang
terjadi saat mentari yang gagah menyerahkan tahtanya pada malam yang anggun.
Senja.
***
September 2014
Kulirik jam
dipojok kanan bawah komputerku. 18:00 wib. Langit yang diselimuti jingga-nya
mega nampak cantik menyatu dengan suara bising kendaraan di kawasan perkantoran
halim perdanakusuma. Kantor yang beroperasional sampai pukul lima sore ini
hanya nampak aku dan seseorang yang hanya bisa kulihat punggungnya itu.
“Mas Aldi gak pulang? Tumben jam
segini masih dikantor” Tanyaku melihat punggung pria itu, karena memang pria
ini bukan tipe yang suka menghabiskan waktu lama dikantor. Bila jam sudah
menunjukkan pukul lima sore dia akan segera pulang keperaduannya tapi kali ini
berbeda.
Dia menoleh “Belum. Masih ada
yang harus dikerjain”.
Aku mengangguk dan kembali
melanjutkan pekerjaan.
“Pulang jam berapa Mbak Mawar?”
Tanya Mas Aldi yang membuatku menoleh.
“Gak tahu, masih banyak banget.
Mas Aldi mau pulang?” Tanyaku.
“Pulang sama siapa?” Tanyanya
lagi.
“Paling minta anterin OB sampai
Cawang. Mas Aldi pulang duluan saja, gak apa-apa kok” Kataku.
Dia tidak
menggubrisku dan kembali melihat kearah laptopnya. Kulirik jam dan waktu
menunjukkan pukul 19:00 wib.
“Pulang jam berapa?” Tanya Mas
Aldi lagi
“Belum tahu, masih banyak banget
kerjaan aku” Kujawab jujur
Tanpa
menggubrisku lagi, dia kembali melihat kearah laptopnya. Setengah jam berlalu,
dia terlihat merapihkan laptop dan memasukkannya kedalam tas. Aku melihatnya
saat dia berjalan didepan mejaku.
“Mau bareng gak?” Tawarnya
Aku menggeleng “Gak usah, Mas
Aldi pulang duluan saja gak apa-apa kok. Nanti aku minta dianterin OB saja”
“Beneran nih gak mau bareng?”
Tawarnya lagi
Aku tetap menggeleng tapi dengan
ketidakpastian yang kini menyerang hatiku “Enggak, Mas Aldi duluan saja. Gak
apa-apa”.
“Ya sudah” Mas Aldi berjalan
menuju pintu keluar.
Aku mengantarnya
keluar dan ketidakpastian ini semakin membulat. Apakah aku harus ikut dengannya
atau tidak? Bagaimana kalau OB yang akan mengantarku sudah pulang? Dikantor
seorang diri malam-malam begini? Sudah malam juga?. Kulihat wajahnya saat
membuka pintu keluar. Dengan langkah perlahan dia menoleh kearahku dan tersirat
ekspresi wajahnya mengatakan “yakin tidak mau bareng?”. Aku menatapnya ragu dan
dia sepertinya membaca ekspresiku.
“Beneran gak mau bareng?”
Tawarnya lagi
“Ya sudah deh aku ikut Mas Aldi,
tapi aku beres-beres dulu sebentar” Kataku yang membuatnya masuk kembali
kedalam kantor dan menungguku membereskan meja kantor yang berantakan.
Malam itu awal
kedekatan kami. Malam itu awal canda gurau kami dan malam itu merupakan awal
perasaan yang tak pernah kusadari. Dengan hembusan angin malam yang sejuk di
malam yang cerah, Mas Aldi dengan tegap berdiri didepan jalan sambil memainkan
tangannya memanggil taksi. Untuk pertama kalinya, malam itu aku duduk
berdampingan dengannya dikursi belakang taksi berwarna biru. Dan untuk pertama
kalinya juga perhatian kecil yang dia lakukan membuat hangat salah satu organ
tubuhku yang biasa kusebut, hati.
***
Oktober 2014
Hari bergulir
dan membawa bulan kesepuluh pada permukaan. Dari hari ke hari sejak kejadian
malam itu aku semakin dekat dengan sosok yang tak pernah kukira akan sangat
kudamba. Tak pernah ragu kita bercanda, tertawa, mengejek, mencubit, menyentak,
menakut-nakuti, membuat julukan-julukan aneh atau bahkan sekedar menjulurkan
lidah. Rasanya ada yang kurang bila tak melakukan itu sehari saja dengannya.
Sosok 26 tahun dengan kelakuan 6 tahun. Mas Aldi adalah mood booster untuk kantor dengan segala intrik internal didalamnya.
Mas Aldi terlalu baik pada semua orang yang dikenalnya, itu yang membuat logikaku
merangkak bahwa hal manis dan perhatian kecil yang dia lakukan padaku pasti
akan diakukan juga pada orang lain.
Kutepis segala
sesuatu yang dapat membesarkan hatiku akan perbuatannya. Karena aku tahu, dia
akan berbuat baik pada semua orang bukan hanya padaku. Mengetahui kenyataan itu
saja sudah membuatku lelah. Lelah mengatur hati dan pikiranku, lelah
mengkondisikan perasaan dan logikaku untuk berjalan selaras. Saat perasaanku
melayang karena perhatian kecilnya, logikaku menampar dan mengatakan “Dia memperlakukan semua orang sama seperti
dia memperlakukanmu. So stop blooming”.
Dan aku sadar, perasaan dan logika tidak akan pernah berhubungan baik.
Sampai akhirnya,
pertarungan perasaan dan logika ini dimenangkan oleh logika saat aku memutuskan
untuk mengenalkannya pada salah satu sahabatku yang kukira masuk salah satu kriteria
Mas Aldi yaitu wanita bermata sipit.
Kalian mungkin
bertanya kenapa aku mengenalkannya pada orang lain sedang aku juga sangat
menginginkannya? karena aku tahu diri. Selain aku sama sekali tidak masuk dalam
kategori wanita yang diidamkannya, kasta kami juga jauh berbeda. Dia terlampau
kaya dengan materi yang melimpah, dia dari golongan orang berada yang bahkan
sebagai temannya-pun aku merasa minder, sedang aku? aku hanya gadis dari
kalangan keluarga sederhana. Lihatlah betapa logika kini berkuasa.
“Puma, Nike, Iphone itulah kau. Sedang aku
hanyalah barang murahan” inilah perbandingan kami. Menyedihkan. Tapi dari
pernyataan yang kutulis disalah satu media sosial itu, menyadarkanku bahwa aku
benar-benar tenggelam dalam perasaanku padanya. Perasaan lebih dari sekedar
kagum pada sosok yang amat dicintai oleh semua orang karena kelakukan minus-nya itu. Saat aku terus memaksanya
untuk mengenalkannya dengan sahabatku tapi saat itu juga dia terus menolak
untuk dikenalkan, sampai akhirnya aku lelah sendiri untuk memaksakan
kehendakku. Dan membiarkan perasaanku terus tumbuh subur dan berkembang
membentuk pohon berbentuk hati yang biasa kusebut cinta.
***
November 2014
Walaupun bulan
sebelas bukan merupakan musim hujan kala itu, tapi tidak cukup kuat membuat
hatiku untuk tidak menjadi biru. Malam itu tanggal 22 November, kami sholat
berjamaah dan setelah selesai, entah perasaan apa yang menghampiriku untuk
melihat punggungnya. Rasanya nikmat sekali menggelar sajadah dibelakangnya dan
menatap punggungnya seperti malam itu. Tanpa ada pikiran apapun kutengadahkan
tangan dengan masih tetap menatap punggungnya, kuhaturkan doa kepada Tuhan sang
Maha Cinta.
“Dekatkan dia bila memang dia baik untukku tapi jauhkan dia bila memang
dia tidak baik untukku.”
Selang sehari
setelah doa yang kuucapkan itu. Aku ingat hari itu, senja di hari senin tanggal
24 November. Tak seperti biasa, dia menganggap ritual pulang kami hanya
aktivitas biasa tanpa memikirkan imbas apa yang terjadi padaku, pada hatiku.
Dia pulang tanpa pamit bahkan tak menoleh sedikitpun kearah mejaku. Apakah ada
yang salah yang kulakukan hari itu?
“Mas Aldi marah sama aku?” Kugunakan
aplikasi chatting di Android
“Yailah, kayak anak SMA saja”
Balasnya
Tapi sikapnya
tetap dingin padaku semenjak hari itu. Walau dia bersikeras mengatakan bila dia
tak marah, tapi aku tahu dia memendam emosi padaku. Karena dia mengingatkanku
pada diriku sendiri. Kalau dia marah, dia hanya akan diam kepada orang yang dia
tidak suka. Serupa denganku. Adakah yang salah denganku bila sekarang dia diam
padaku?.
Aku
kehilangannya bahkan saat dia tak berjarak satu meter dariku. Aku merindukannya
bahkan saat seharian kami bersama. Aku kesepian bahkan saat dia bercanda dengan
yang lain. Tak ada lagi canda itu, tak ada lagi gurauan itu, tak ada lagi
ejekan itu, tak ada lagi cubitan itu, tak ada lagi julukan-julukan itu, tak ada
lagi juluran lidah itu. Aku merindukannya Tuhan, terima kasih telah mengabulkan
doaku.
***
Desember 2014
Akhir tahun 2014
membawa memori tersendiri untukku. Walaupun Mas Aldi telah berubah tak sedingin
bulan lalu tapi aku merasa dia memperlakukanku seperti orang asing. Menjaga
jarak dariku, menjaga tata bicaranya. Setiap hari yang kulalui sekedar bertegur
sapa dengannya, bahkan untuk pulang bersamanya pun enggan.
“Nonton Doraemon yuk” Ajakku pada
teman-teman sekantor.
“Hayo, dimana? Kapan?” Mereka
menanggapi antusias.
Tanggal 16
desember aku bersama 8 orang teman kantor termasuk Mas Aldi nonton bersama
Doraemon ‘Stand by Me’ disalah satu bioskop dikawasan SCBD. Setelah film
berakhir, tak pernah terbersit olehku akan terjadi kejadian yang membuatku
menangis sejadi-jadinya, membuatku menangis seperti orang gila dikawasan mall elite itu. Bukan, bukan karena aku
bertemu dengan orang dimasa lalu yang tidak memilihku tapi karena sikap acuh
Mas Aldi disaat aku benar-benar membutuhkannya. Tidak, aku tidak ingin dia mengkasihaniku.
Tapi bisakah dia sedikit saja beri perhatian dengan menanyakan keadaanku?.
Bukankah didepan matanya aku meraung-raung dipermainkan yang namanya asmara.
Tapi kenapa dia menghindar? Bahkan untuk sekedar melirik kearahku pun tidak.
Bila kau tak suka padaku, anggaplah aku temanmu. Kau menjadi teman yang baik
saat yang lain terpuruk, kau menjadi pendengar yang baik saat yang lain
depresi. Kenapa untukku tidak?. Aku baru tahu menyakitkannya rasa yang kusebut
kecewa.
***
Januari 2015
Sudah jatuh
tertimpa tangga mungkin ungkapan yang tepat untuk keadaan yang kurasakan saat
ini. Sudah kehilangan sosok yang amat kuimpikan dan sekarang dia membuatku
kecewa. Aku kesal atas perlakuannya, aku marah atas sikapnya. Kudiamkan dia
seperti dia mendiamkan aku. Kuperlakukan dia bak orang asing seperti dia
memperlakukanku. Tapi semakin kudiamkan dia semakin hati ini sakit, semakin
kuperlakukan dia seperti orang asing semakin hati ini patah. Semua kesedihanku,
semua kerapuhanku kutumpahkan di malam itu. Malam saat semua orang merayakan
pergantian tahun dengan gembira dan suka cita. Aku menangisinya sampai sesak
dan tertidur. Aku sedih dia memperlakukanku seperti itu tapi tak sekalipun dia
menyapaku menanyakan ada apa. Dia turut serta dalam permainan diam yang
memuakkan ini.
Sampai suatu
senja di hari selasa tanggal 27 Januari, aku melihatnya dengan keserawutan
wajah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Kuhampiri dia dan tersenyum.
“Mas Aldi jangan nyerah” Ucapku
Dia mulai
berceloteh panjang lebar tentang keluhan pekerjaannya. Dari permasalahan yang
dia tidak dapat atasi, target yang harus dicapai setiap bulan sampai
keputusasaan yang menghampirinya. Kami kembali seperti semula, seperti awal
kami menjadi dekat di bulan September. Aku menemukan Mas Aldi yang kukenal
dulu. Mas Aldi yang membuat hatiku hangat tapi kenapa disaat keputusasaan
melingkupinya.
“Mas Aldi” Sapaku di aplikasi chatting android
“Opo” Jawabnya
“Jangan resign” kataku
Malam itu kami chatting cukup lama, aku membujuknya
untuk tidak menyerah menghadapi masalah ini. Tapi lagi-lagi dia membuatku kesal
karena dia terlalu meremehkan dirinya sendiri. Mungkin niatku dari awal salah
karena terlalu egois yang tak mau melepaskan dan jauh darinya.
“Saya harus nurut Mawar daripada
keluarga dan hati?”
Satu pertanyaan
telak tercantum di layar android-ku. Aku tercengang membaca pertanyaan itu.
Kenapa rasanya sesak sekali? Kenapa rasanya sedih sekali?. Berbagai emosi terjadi
disatu pertanyaan dengan delapan kata yang tergabung menjadi satu itu.
Sampai tanggal 4
februari merupakan hari terakhir kami bertemu. Hari itu farewell party Mas Aldi, aku sudah tak menangisi kepergiannya lagi.
Aku sudah tidak bersedih bila besok sudah tidak melihat keceriaan yang dia bawa.
Aku sudah tak cengeng lagi bila esok aku tidak akan bercanda dengannya lagi.
Aku sudah tidak nanar lagi bila lusa aku tidak bisa meliriknya atau bahkan
tersenyum sambil melihat punggungnya. Ya, aku bohong. Aku terpuruk, aku sedih
teramat sedih sampai lelah rasanya aku menangis.
Senja di tanggal
5 februari memisahkanku dengan Mas Aldi. Takkan ada lagi cerita senja kami
berdua. Takkan ada lagi kisah senja kami bersama. Dan senjapun memang
seharusnya hanya menjadi penghantar lelahnya mentari menuju lembutnya malam. Bukan
menjadi saksi cinta seorang gadis yang dari awal dia tahu dimana tempatnya
berada.
Kulihat mega
sore itu dan tersenyum membaca surat yang kubuat untuk Mas Aldi yang bahkan tak
sempat kuberikan, Seakan Tuhan memang punya rahasia untuk kami.
“Jakarta, 25 desember 2014
Dear Penghujung Senjaku..
Surat ini sengaja aku tulis dan akan kuberikan saat salah satu dari kita
resign.
Pasti Mas Aldi bingung kenapa aku sebut Mas Aldi
sebagai Penghujung Senja. Karena senja adalah awal mula seorang gadis menyukai
seorang pria. Gadis itu aku dan pria itu Mas Aldi. Tenang, aku gak minta
balasan apapun tentang perasaanku terhadap Mas Aldi. Aku hanya ingin meluruskan
apa yang aku lakukan saat ngediemin Mas Aldi. Aku kecewa sama Mas Aldi karena
hanya satu-satunya yang tidak menenangkanku bahkan sekedar menanyakan
keadaanku.
Jujur aku masih kesal sampai sekarang, lebih tepatnya
sedih banget karena aku merasa tidak diperlakukan secara adil, aku merasa
didiskriminasi. Pasti jawaban Mas Aldi ‘Siapa elo’. Please dong jangan gitu,
itu nambah sedih tahu.
Surat ini aku sengaja tulis untuk mengutarakan hatiku.
Mengatakan yang mengganjal di hati aku kalau aku. Sebenarnya malu sih, tapi
besok sudah gak ketemu juga. Aku suka sama Mas Aldi. Aku hanya ingin
menggungkapkan tanpa harus ada balasan, cukup balasannya perlakukan aku seperti
seorang teman. Jangan bersikap cuek dan acuh, itu benar-benar membuat sedih.
Rasanya pengen nangis kalau diperlakuin seperti itu sama Mas Aldi. Jadi
perlakukan aku seperti teman ya, Mas ganteng =)”
***
Dan mungkin sampai disini kisah Si Penghujung Senja. Tak ada awal sebagai permulaan dan juga tak ada ujung sebagai akhir #GanbaMia XD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Udah bacakan.. mari mari cipika cipiki sama yang punya :)