Senin, 17 Januari 2011

Searching The True Love Part I

        Tawa bahagia, senyuman empati, raut kegembiraan jelas tergambar dalam nuansa merah maruh gold ini. Tak ada yang lebih mengembirakan dan menyenangkan hati kecuali melihat sahabat atau orang terdekat memberikan senyuman terbaiknya diatas pelaminan. Melihatnya begitu bahagia berdiri disamping pasangannya sambil membayangkan hal-hal baru yang akan ditemuinya setelah menikah, mungkin suatu kenikmatan tersendiri. Tak terkecuali kami, kami berlima adalah segelintir komunitas atau kelompok saat masa-masa pencarian jati diri. Masa dimana tidak ada yang bisa mengungkung kami, masa dimana kami merasa bebas bersuara, masa dimana kami berhak untuk berpendapat, masa itu adalah masa-masa kuliah. Kami berbeda dengan mahasiswi lain yang biasanya hanya menikmati satu masa yaitu masa kuliah. Kami seorang pekerja merangkap mahasiswi, disaat semua mahasiswi asyik bersenda gurau setiap saat dari senin sampai jumat, kami berjuang untuk mencukupi segala kebutuhan hidup dengan tangan dan peluh sendiri. Disaat mahasiswi lain tengah asyik berlibur dengan keluarganya atau pacarnya di hari sabtu dan minggu, kami asyik menimba ilmu dalam keterbatasan waktu yang kami punya. Tapi dari semua itu kami bertemu dan terbentuklah sendiri kelompok ini.
            Kami tidak pernah menamai kelompok kami karna kami merupakan bagian dari komunitas kelas yang lebih luas, tetapi kami lebih senang berbagi atau bertukar pikiran dengan otak lima orang ini. Kami terdiri dari Tania, Misca, Chika, Bianca, dan aku, Milia. Satu diantara kami telah mengarungi bahtera rumah tangga terlebih dahulu yaitu Misca. Dan sekarang yang tengah merona pipinya adalah Tania, yang tengah menggelar resepsi pernikahan. Sisanya kami bertiga yang tidak tahu arah jalur cintanya kemana?!. Tiga wanita cukup umur yang tak kunjung menemukan jodohnya. Malang nian nasib kami.
“kenapa loe?” tanya Bianca saat melihatku tak bertenaga diujung sudut yang tak tersentuh siapapun
“ada apaan sih?” Chika duduk diantara aku dan Bianca
“kalian merasa gak sih kalo percintaan kita itu menyedihkan?!” aku melihat mereka berdua yang tak bergeming mendapat pertanyaan retorik dariku
“jangan pada saling ngeliat putus asa gitu” kataku kesal melihat mereka berdua beradu tatapan
“ya mau gimana lagi?! Gue juga maunya kita punya” Bianca terpaku melihatku
Aku menatap Chika yang sedari tadi hanya mendengarkan.
“tapi emang menyedihkan. Sampe saat ini pacaran aja belum pernah. Bayangin lho umur udah diatas 25” Chika melihat nanar kearah kami sang pengemis kasih sayang
“atau mungkin ada sesuatu yang aneh dalam diri kita” Bianca nampak mengingat sesuatu
“maksudnya?” aku mengerenyitkan dahi
“kata ustadz gue ni ya mungkin ada yang ngasih penghalang ke kita supaya kita gak dapet-dapet jodoh” kata Bianca berdiri melihat kami, terlihat tubuh suburnya menghiasi pandangan kami tapi melihat wajahnya tak pernah ada kata bosan.
“gak rasional deh. Apa alesannya oknum-oknum itu berbuat kayak gitu?!” Chika tak bergeming duduk disampingku
“mungkin aja chi. Kadang dalam hal kayak gini yang gak rasional bisa berubah rasional” aku berdiri disamping Bianca
“trus apa yang mesti kita lakuin?” Chika terpengaruh omonganku
Aku melihat mata Bianca kemudian beralih ke mata Chika. Kusunggingkan senyuman tipis kemenangan yang biasa kulakukan, bila mendapat hal yang menakjubkan dalam pikiran.
“rukiyah” aku menjentikkan jari
_ _ _
            Aku berdiri sambil terus melirik jam tangan biru kusam kesayanganku dibarengi dengan gerutu yang tiada henti didepan rumahku. Melihat ke kanan kemudian ke kiri, tak ada tanda-tanda kehidupan yang mewarnai aktivitas disekitarku, kecuali satu orang, Chika yang tengah asyik mengotak-atik handphone bututnya, padahal dengan sekali gajinya terbabat habis handphone keluaran terbaru. Melihatku yang tak kunjung menurunkan intensitas kegelisahan karena Bianca belum datang juga, Chika mulai mengomentari sikap yang kuperbuat.
“Biarin” kataku saat Chika mengomentari jalan mondar-mandir yang kulakukan
“Mi emang bener ya di rukiyah bisa ngilangin batas penghalang yang Bian bilang?” Chika tetap menatap handphonenya sedang aku mulai tenang dan duduk disampingnya.
“mungkin” aku melirik kearah handphone Chika
“tapi setahu gue rukiyah itu buat orang kesurupan” kali ini Chika menatapku
“ya coba aja dulu Ci, daripada diem jodoh gak nyamperin” kataku melihat Bianca yang jalan tergesah-gesah
“nih gue dapat alamat tempat rukiyah dari ustadz gue” Bianca memberikan secarik kertas kepadaku
“daerah kota, jauh amat ya” aku membaca alamat yang tertulis jelas diatas kertas itu
“demi jodoh” Bianca tersenyum kearahku dan Chika
_ _ _
            Kami memandang satu sama lain. Melihat kondisi sekitar tempat rukiyah ini yang penuh sesak dengan orang-orang yang lalu lalang dan berjejernya orang-orang bertatto diwarung depan tempat rukiyah ini berada serta terdapat banyak serangga yang berkeliaran keluar masuk tempat itu, membuat tembok keyakianku untuk melakukan rukiyah hancur seketika.
“gue gak yakin” Chika mulai pembicaraan
“sama” aku menyetujui
“tapi alamatnya bener” Bianca menyamakan nama gang dan alamat tempat itu dengan kertas yang dia peroleh dari ustadznya
“mungkin tuh kyai low profile kali. Makanya tempatnya kayak gini. Udah yuk masuk” ajak Bianca
Sebelum aku melangkah masuk terlebih dahulu tikus berbulukan kaku melangkah keluar.
“low profile sih low profile tapi gak semua makhluk hidup diterima buat di rukiyah juga kali” aku melangkah kedalam rumah yang dihiasi antrian orang-orang yang berteriak-teriak itu.
“aduh gue ngeri nih. Kalo muka kita diciriin sama yang teriak-teriak ini bisa gak pulang kita” aku berjalan sambil berpegangan dengan Chika
“maksud loe?” Chika memegang erat pergelangan tanganku
“iya disuruh jadi pembokatnya, setiap hari nyariin sama masakin kembang tujuh rupa. Kalo gak mau, tinggal dicekek dah” aku melihat sekitar
“hah masa iya kayak gitu. Ngaco deh loe Mi” Chika bertambah erat memegang tanganku
“soalnya gue pernah denger cerita dari temen gue. Majikannya temennya temen gue sering teriak-teriak gitu trus selalu minta disediain kembang tujuh rupa setiap malem jumat. Dia  penasaran dong, sekali dia gak nyediain tuh kembang tujuh rupa pas malem jumat. Malem-malemnya pas dia tidur dicekek ama maji..”
“Chi ada yang megang bahu gue.siapa nih Chi?” wajahku terlihat tegang
“gue gak mau liat ya, yang nyuruh duduk disinikan tadi loe”
“gak bisa lepas tanggung jawab gitu dong chi, ngeliat barengan ya”
“oke”
“satu, dua, tiga”
“HHUUAAAA” kami ikut berteriak bersama orang-orang disekitar menambah merdu alunan suara yang terlepas dari tangga nada
“apaan si?!” suara Bianca terdengar
“nih gue udah dapet nomer antrian. Tinggal nunggu, geseran-geseran” Bianca duduk diantara kami yang masih tersegal-sengal nafasnya padahal tidak berlari
_ _ _
            Putihnya tembok menghiasi pandangan kami, tak ada kursi, meja apalagi tivi. Yang ada hanya hamparan karpet hijau yang sudah sangat lusuh.
“silahkan duduk” kata seseorang yang sedang mengusap dagunya yang hanya dilebati beberapa helai janggut saja, dia tidak tahu apa kalau dia sedang mengalami yang namanya krisis janggut.
“kalian bertiga ini pasti ingin cari jodohkan?” senyum laki-laki tua itu
“100 persen bener pak kyai” Bianca tampak bersinar
“tidak tidak tidak. Jangan panggil saya kyai panggil saja panjenegan hahaha” katanya terus mengusap dagu
“karena saya tidak punya banyak waktu jadi langsung bertiga saja. Cepat duduk didepan saya”
“lho kenapa menghadap kearah saya?!”
“kan tadi panjenengan yang nyuruh duduk didepannya” Chika bersuara
“iya duduk didepan saya tapi gak ngeliat saya”
“ngebelakangin maksudnya?!” kataku
“iyolah”
Dasar panjenengan stess
            10 menit sudah berlangsung, panjenegan aneh itu berucap kata-kata yang tidak kami mengerti tapi dengan khusuk sepertinya dia tidak sadar kami tengah bercakap-cakap.
“ngapain sih tuh orang?! dari tadi ngoceh tapi gak ada hasilnya” aku menoleh kearah panjenegan yang tengah sibuk berkomat kamit ria
“tau tuh. Punggung gue sampe basah kena muncratan ujan lokalnya” Bianca melihat kearahku
“beneran punya ilmu gak sih nih panjenengan?! Perasaan kayak orang aneh nih orang, jangan sampe kita juga dibilang aneh karena ngikutin orang aneh” Chika juga melihat kearahku
“bener nih alamat yang ditunjukin sama ustadz loe Bi?” aku melihat Bianca
“bener. Mungkin nih orang stess kali kebanyakan pasien” Bianca melirik panjenengan
“haduh saya tidak sanggup ini, nyerah saya nyerah. Aura kalian suram. Saya tidak bisa nembus. Susah susah. Sepertinya kalian harus pasrah saja, karna kodratnya sudah seperti itu” panjenengan mengusap keringat yang ada didahinya
            PRUKK. Sepatuku tepat menghantam kearah pintu tempat rukiyah itu, sehingga membuat hening suasana yang tadinya penuh dengan teriakan.
“kalo gak bisa gak usah praktek, pake acara kodrat-kodratan lagi” emosiku memuncak tapi dengan sigap Bianca dan Chika menarikku menjauh dari kerumunan
“apan sih pake tarik-tarik?!” aku melepaskan pegangan kedua temanku itu
“sabar-sabar Mi, gak bisa diselesein dengan cara premanisne kayak gini” Chika melihatku
Aku tak mendengarkannya, aku kembali beranjak mendekati pintu masuk tempat rukiyah itu.
“udah Mi sabar-sabar” Kali ini Bianca
“apaan sih sabar-sabar orang mau ngambil sepatu juga” aku berjalan melewati orang-orang yang tadi tengah berteriak tapi melihat kedatanganku mereka tampak seksama melihat kehadiranku
“apa liat-liat” sentakku, refleks mereka berteriak-teriak kembali.
_ _ _
            Kami bersandar ditengah pusat kota dimalam hari, bersandar dengan suasana malam yang sejuk dan ditemani iringan musik jalanan ditambah jajakan nasi-nasi kucing mungkin adalah suatu nikmat tiada tara. Tapi lain halnya dengan kami, perjalanan hari ini tidak membuahkan hasil, malah menambah keprihatinan karna seorang ahlipun tak sanggup membantu kami. Apa kami akan benar-benar mendapatkan jodoh?!
“lemes gue panjenengan aja gak sanggup” Chika memulai pembicaraan
“panjenengan stress” kataku
“masih kesel loe mi?” Bianca bertanya
“masihlah. Gondok gue. Cuma bisa wasweswos wasweswos doang sampe-sampe ujan lokal. Hasilnya, bau nih badan gue sama jigongnya dia” kataku tetap bersandar dipunggung Bianca dan Chika
“ye yang ngusulin rukiyah siapa?” Chika memojokkanku
“yang nyariin tempat siapa?” Aku memojokkan Bianca
“yang menyetujui siapa?” Bianca memojokkan Chika
“Hhh” buangan nafas panjang kami menandakan hasil nol besar
“pake ada acara aura suram segala lagi” Bianca tetap bersandar
“aha” aku berseru
Mereka kali ini menatapku, kulemparkan kembali tatapan kearah Bianca dan Chika kemudian kusimpulkan senyum tipis dibibir.
“liat kebelakang” perintahku
            Terlihat dengan jelas papan reklame besar bertuliskan “TOTOK AURA 1 MENIT TAK GAGAL MADAME CINCAI”
_ _ _
“aduh Tuhan dua hari bolos cuma buat acara begini doang” Chika berdiri dibelakangku
“demi jodoh” aku mengantri mengambil tiket antrian di ruko madame cincai
            Setelah tiket antrian telah berada ditangan, kami menghampiri bianca yang tengah sibuk berbicara dengan orang diseberang sana.
“kena semprot gue” Bianca memasukkan Handphone ke saku celana
“demi jodoh” jawabku singkat
            Drett drett handphoneku bergetar. My office calling terlihat dilayar handphoneku, dengan ragu kutekan tombol telepon berwarna hijau. Ternyata atasanku yang menanyakan keberadaanku sekarang dan menanyakan alasan mengapa aku tidak masuk selama dua hari, alhasil aku mendapat SP.
“dapet SP gue gak masuk dua hari” aku memasukkan handphone kedalam tas
“demi jodoh” serentak mereka membalas perkataan yang tadi kukeluarkan
            Aku melihat datar kearah mereka, ternyata gondok juga ya berkata seperti itu. Akhirnya tiba giliran kami berkonsultasi dengan madame cincai, kalau dilihat dari namanya aku sama sekali tidak yakin dengan kemampuannya karna kami sudah tertipu dengan panjenegan stress. Tapi ada pepatah mengatakan don’t judge a book by the cover, mungkin itu adalah paham yang sedang kuanut. Tapi aku geli saat tengah menunggu giliran, kami coba telaah dan telusuri hal tidak penting mengenai nama madame cincai, coba perhatikan percakapan kami.
“namanya lucu ya. Ngondek gitu” Bianca tersenyum geli
“banci dong” Chika berusaha menahan tawa
 “bukan, dia tuh terinspirasi sama cinta laura, mau gaya barat gitu tapi lidahnya belibet. Tadinya mau cinca tapi berhubung ngondek jadi cincai” aku tersenyum
 “atau mungkin kalo lagi tawar menawar harganya pas dia ngomong ‘cincai deh bo’” Bianca mempraktekkan gaya banci yang membuat perut kami sakit
_ _ _
            Berbeda sekali dengan ruang konsultasi panjenegan stress yang kosong melompong, didalam ruang konsultasi madame cincai berisi pernak pernik gipsy berwarna merah marun. Kami bertiga duduk dikursi yang telah dihias rangkaian kain perca merah yang terlihat apik mengelilingi kursi empuk ini. Dihadapan kami terlihat pula bola lampu yang tengah berpendar dalam remangnya cahaya lampu diruang ini. Hanya kami bertiga yang sepertinya berada dalam ruangan yang beraroma jasmine, tak ada tanda-tanda kehidupan dari madame cincai yang menurut kami ngondek ini.
“DUKK” terdengar suara dari dibawah meja yang menyanggah bola lampu, refleks kami bertiga beradu tatapan kemudian jongkok perlahan untuk mengetahui apa yang berada dibawah sana. Bersama-sama kami naikan kain merah yang menutupi seluruh meja bundar ini. Kami hanya bisa menatap aneh seseorang yang sedang asyik bertelepon ria dibalik meja ini, dengan gelagat tidak terjadi apa-apa orang itu berdiri dan duduk dihadapan kami.
“ehem, oke kalian pasti Milia, Bianca dan Chika?” ternyata madame ini perempuan tulen
Kami menganguk
“pasti mau minta dipasangin susuk?” senyumnya
Kami saling beradu tatapan kemudian menggeleng
“kalo gitu pasti minta obat awet muda?”
Kami menggeleng
“oh minta obat kurus?”
“oh ada madame?” Bianca bersinar
Aku dan Chika menyenggol lengan Bianca, kemudian kami menggeleng.
“trus kalian mau minta apa? Ini geleng, itu geleng”
“jelas-jelas reklame iklan madame totok aura, mau ngapain coba?” celetukku
“oh bilang dari tadi dong. Mau dibukain auranya. Oke deh cin” katanya sambil melambaikan tangan
Kami saling bertatapan kembali, kali ini raut wajah madame cincai berubah aneh.
“cai” katanya melihatkan lentik jarinya saat melambai
“hah” kami bertiga
“ampun deh. Kalian gak tau gitu persyaratan wajib kalo mau konsultasi disini. Jadi kalo kalian mau konsultasi kalo gue gitu udah bilang oke deh cin, kalian wajib bilang cai” kata madame cincai dengan suara anak gaul alay gitu
            Ternyata itu sebabnya namanya madame cincai, masa remaja kurang gaul ini mah namanya.
_ _ _
“madame gila” gerutuku sambil terus mengusap wajahku yang terlihat merah
“aduh muka gue pada perih” ringis Chika
“gak berani masuk kantor nih besok gue” Bianca menutup wajahnya dengan tangan
“udah notok pake sendok, dikira mau ngerokin kali ya. Digrauk-grauk juga muka gue. Bener-bener madame gila” aku duduk tak berdaya dibangku taman tak jauh dari ruko madame cincai
“satu menit sih satu menit tapi gak langsung notok muka sekaligus juga kali” Chika menimpali
“gue baru baca tuh ada slogan kayak gitu. Totok Aura 1 menit Tak Gagal Madame Cincai kalo tak berhasil ya gagal. Saraf kali tuh orang” Bianca melihat kearahku
“sesat Mi ngikutin loe. Rukiyah ayo kita ikutin ternyata panjenegannya stress, totok aura ayo juga kita ikutin ternyata madamenya gila” matanya tertuju kearahku
“berarti sumbangan ide loe cukup sampe sini aja Mi” Chika tersenyum melihatku
“hahaha” aku tertawa lebar
“kenapa loe?” Bianca mengerenyikan dahi
“geli aja gue dua hari ini ketemu sama orang aneh semua. Yang satu pawang ujan yang satu tukang kerok hahaha” tawaku makin lebar
            Melihatku tertawa, Bianca dan Chika serentak tertawa bersamaku. Walau masih dalam usaha pencarian jodoh kami tak akan pernah lupa caranya bersenang-senang meski dihimpit waktu yang tak banyak. Contohnya sekarang, menertawakan yang kami perbuat dua hari yang lalu merupakan suatu lelucon segar yang dapat membuat kulit kencang. Menertawakan diri sendiri saat situasi siaga 45 merupakan hal terpenting, agar kami tak selamanya memikirkan jodoh yang rupanya masih enggan untuk menyembul ke permukaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Udah bacakan.. mari mari cipika cipiki sama yang punya :)

My Image