Senin, 04 Agustus 2014

[Cerpen for #JCDD2] Sang Pengagum...

#JCDD2
Kupercepat langkah menuju halte pemberhentian bus yang nampak usang tak terawat. Kupendarkan pandanganku melihat besi-besi yang catnya mengelupas dan berwarna merah bata karena karat yang tak kunjung dibersihkan. Aku berdiri membelakangi besi berkarat itu yang dulu merupakan tempat paling nyaman untuk duduk melepas lelah sambil menunggu bus yang datang menghampiri.

Kutolehkan wajahku keatas dan membuang nafas panjang melihat tetesan air yang tidak kunjung berhenti menurunkan kapasitasnya untuk menjatuhkan diri pada apapun yang berada dibawahnya. Kueratkan jaket lusuh yang membungkus tubuh tak proporsional ini agar tak bersentuhan dengan hujan yang tak bersahabat.

Kusentuh tetesan air yang berada dihadapanku dan tersenyum. Senyum getir dan teramat kecut bahkan mungkin kadar asamnya telah menjalar pada hulu hatiku, pedih. Ya, hatiku pedih teramat pedih sampai aku ingat hujan adalah awal aku menjadi sang pengagum, pengagum rahasia.


7 tahun lalu..

“Dia lulus” Senyumku merekah mendengar kabar berita sekolah-ku lulus 100% untuk angkatan 2007-2008

Walau itu artinya aku takkan punya kesempatan untuk melihatnya, tersenyum padanya bahkan hanya untuk sekedar meliriknya. Dia kakak kelasku, satu tahun diatasku. Aku menyukainya begitu saja tanpa ada hal menarik yang bisa membuatku mendekat padanya. Aku hanya cukup melihatnya dari jauh, mencari tahu namanya, mencari tahu tahun kelahirannya, mencari tahu alamat rumahnya dan mungkin yang paling menyesakkan mencari tahu kekasihnya.

Aku mengenalnya tapi dia tak mengenalku. Hanya cinta sepihak yang harus kutanggung sejak aku kelas 1 SMA. Tak pernah berbicara, tak pernah menyapa, tak pernah bertegur sapa. Lantas apa aku berhenti menyukainya? Tidak. Mungkin aku terlalu naïf, tapi sungguh aku mengharapkannya, mengharapkan dengan seluruh ruang hati yang kupunya.

Nama itu masih tergores disana, dilubuk hati yang bahkan tak ada pendaran cahaya yang menyinari. Seakan bersembunyi dan tak ingin mencuat menyuarakan apa yang ada didalamnya. Nama sederhana dari orang sederhana dengan cinta yang tidak sederhana, cinta tersembunyi. Dia Aris, Aris-ku yang menjadi langganan doa tak terkabul.

4 tahun lalu..

Aku berjalan menuju mimbar untuk menyerahkan kuis yang diberikan dadakan oleh dosen yang sudah tidak berada diruangan. Aku berhadapan pada dia yang berperawakan sedang dengan kemeja yang terlihat kebesaran tengah meletakkan lembaran kertas diatas mimbar, kami hampir bertabrakan saat dia berbalik dan aku ingin meletakkan lembaran kertas jawabanku. Selintas kulirik wajahnya, ekspresinya datar dengan tatapan sinis.

“Apa-apaan tuh cowok?!” Batinku kesal

Aku kembali ketempat duduk dan melihat kearah cowok itu. Wajahnya kaku dengan rambut yang sedikit gondrong. Lelaki tidak sopan, mungkin begitu pikiran yang terlintas saat kesan pertama berhadapan langsung dengan dia. Dia teman sekelasku dikampus. Ya, ini tahun pertamaku menjadi seorang mahasiswi.

“Ayo Bi cari pacar. Sudah mau 19 tahun masa begini-begini saja” Ledekku pada teman yang duduk disebelahku
“Lagi diusahakan kok War, nah kamu sendiri sudah ada yang diincar belum?” Balasnya menyenggol bahuku
“Aku?” Kulirik selintas lagi pada sosok cowok tidak sopan itu dan melihat Bian lagi “Aku mau cariin kamu dulu saja”
“Yakin? Tara kayaknya oke juga” Bian tersenyum usil
“Tara? Si Antara itu? Cowok gak sopan, kaku, jaim, belagu itu? Gak deh, amit-amit” Ujarku bergidik
“Kitakan baru masuk kelas beberapa minggu ini War, kok kamu sudah tahu dia luar dalam? Wah kamu beneran ada rasa ya sama dia?” Bian semakin gencar mengejekku
“Bukan gitu” Aku mencoba membela diri

Masih dengan mempertahankan hatiku pada satu sosok yang tak terjangkau, Bian mulai menggempur benteng pertahananku dengan serangan mematikan yang membuat semua teman sekelasku melihat bergantian antara Aku dan Antara, teman sekelas yang kini melihatku lebih sinis dari sebelumnya.

Bermula dari ejekan Bian, Aku dan Antara yang dari awal memang tak pernah berkomunikasi makin jarang berbicara satu sama lain. Selain karena sikap tak bersahabat Antara juga karena ejekan teman sekelas yang sepertinya punya mainan yang akan sangat menarik untuk dipermainkan selama 4 tahun masa kuliah kami. Aku hanya bisa menghela nafas.

3 tahun lalu…

Intensitas bicaraku dengan Antara sangat jarang bahkan aku sama sekali tidak ingin berbicara dengannya. Dia terlalu kaku dengan dunianya yang tak pernah bisa kusentuh. Dia sosok yang sangat ramah, murah senyum dan baik hati dengan seluruh orang yang dia kenal, kecuali aku. Entah apa yang membedakan aku dengan mereka semua? Atau aku yang menutup diriku untuknya? Tapi dia benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku tidak menyukainya, dia membuatku mengulang kembali hari-hari 5 tahun yang lalu saat aku menjadi bual-bualan teman-teman satu sekolah SMA.

“19 tahun tapi masih begini-begini saja” Aku bersandar pada tembok di-lobby kampus
“Coba buka hati kamu, jangan lihat yang itu enggak, lihat yang ini enggak. Tipe-mu terlalu tinggi” Nasihat Teh Tantri disampingku
“Enggak juga ah, lagi juga nih pintu sudah dibuka bahkan pintunya sudah jebol, tapi tetap saja” Elakku
“Yakin?” Teh Tantri melirik dan tersenyum penuh arti dihadapanku
“Itu Antara” Lanjutnya

Kenapa Antara dan Antara lagi?. Dia bahkan tidak melihatku, melirik sepintas kearahku-pun tidak, atau mungkin dia tidak menyukaiku. Bila itu yang dia lakukan, aku akan lakukan hal yang sama. Dia tidak menyukaiku, akupun tidak akan menyukainya.

2 tahun lalu…

Aku masih duduk termenung didalam kelas yang masih ramai. Dengan helaan nafas kulihat Bian dan Teh Tantri keluar tanpa melihat kearahku. Adakah yang salah padaku? Kenapa mereka menghindariku? Bahkan mereka tak mengucapkan selamat untuk ulang tahunku yang ke-20. Aku merasa sendirian, sendirian ditengah kerumunan banyak orang.

“Selamat ulang tahun kami ucapkan. Selamat panjang umur kitakan doakan….

Alunan suara beserta pendaran lilin bersimbolkan ‘20’ diatas cake berlumurkan coklat muncul seketika dari balik pintu dan menuju kearahku yang masih tercengang mendapat kejutan yang tak kubayangkan. Disana terlihat Bian dan Teh Tantri bersorak sambil tepuk tangan dan teman-teman lain yang turut merayakan hari kelahiranku. Sosok itu tersenyum lebar dan turut menyanyikan lagu selamat ulang tahun dengan suara yang tak bisa kudengar jelas. Dia melihatku dan hanya tertuju padaku, aku hanya bisa melihatnya dengan wajah memerah yang tak bisa kusembunyikan. Dia bernyanyi dan tersenyum dengan memegang cake coklat itu, dia Antara.

“Selamat ulang tahun ya Mawar” Ujarnya setelah aku meniup lilin diatas cake yang dibawa
“Iya, terima kasih ya Tar” Senyum tulus menghiasi wajahku

Mungkin dari kejadian tak terduga itu, hati ini mulai melirik lelaki itu. Lelaki yang kuanggap tidak sopan saat pertama kali berinteraksi dengannya. Karena dia, aku bisa mengurangi pikiranku tentang sosok yang tak kuraih seincipun, sosok dari doa tak terkabulku. Entah karena perasaan apa aku memberanikan diri memberi tahu Bian dan Teh Tantri, kalau aku mulai mempunyai rasa yang berbeda terhadap Antara. Rasa yang bahkan aku tidak tahu itu apa?.

Kehidupan 7 tahun laluku terulang kembali. Aku mulai mencari tahu tentang dia, kulihat setiap hari isi media sosial-nya. Ya, dia sosok yang gemar memainkan kata-kata untuk para teman didunia mayanya. Selalu kucoba memberanikan diri untuk mendekatinya, berinteraksi padanya. Menulis komentar, mengirim SMS, chatting-an di YM. Semua itu selalu bermula dariku dan aku mulai lelah dengan semua itu. Apa hanya aku yang mempunyai rasa ini? Tapi kenapa dari setiap SMS-nya selalu membuatku tersipu? Atau hanya aku yang beranggapan seperti itu? Dan disaat aku mengakhiri semua itu, tak ada lagi komentar, SMS bahkan chatting dengan dia dan akupun mulai menjaga jarak dengannya. Aku lelah harus berjuang sendiri, atau mungkin aku memang berjuang seorang diri dari awal?.

1 tahun lalu…

Perasaanku pada laki-laki kaku itu kian memudar saat aku mulai menyadari sikap childish, egois dan perkataannya yang terkesan ceplas ceplos. Aku tidak menyukainya, sungguh aku tidak menyukainya, aku tidak menyukai lelaki itu. Tapi nyatanya rasa itu tetap tertimbun didasar hati yang kukira telah terkikis deburan pikiran tidak suka yang kubuat sendiri.

Sampai suatu hari beredar gambar Antara dengan seorang wanita tengah berdua, timbul perasaan mengganjal didadaku. Bukankah aku tidak menyukai lelaki kaku itu lagi, lantas rasa sesak apa ini?

“Wah War, Tara selingkuh tuh haha”
“Maaf ya War, ngambil gambarnya diam-diam haha”
“War, Tara sama cewek lain haha”
“Tara, Mawarnya mau dikemanain haha”

Lelucon-lelucon itu bergema ditelingaku seperti dengungan ribuan lebah yang siap untuk menyengat gendang telingaku. Inilah saatnya aku memastikan tak ada hati lagi untuk lelaki kaku itu, lelaki yang mampu mengusir sosok doa tak terkabulku. Ya, ini saat yang tepat.

“Ya bagus dong kalo Tara sama Tiwi. Namanya saja sudah cocok, jodoh tuh jodoh” Belaku untuk diriku sendiri dengan ekspresi senang yang kubuat-buat, hatiku sakit.
“Wah Mawar cemburu tuh Tar” Ejek temanku yang lain
“Enggak cemburu, lagi juga kan aku sama Tara gak ada apa-apa. Malah bagus dong Tara sama Tiwi. Sama-sama Sholeh dan Sholeha” Aku berbohong

Aku tak berani melihat ekspresi Antara, mungkin dia tengah bahagia sekarang. Tapi dia bahagia diatas hatiku yang mulai rapuh. Rapuh mempertanyakan rasa yang kupendam untuknya.

Mereka semakin dekat dari hari ke hari. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, aku cemburu, sungguh aku tidak suka melihat mereka berdua bersama. Oh mungkin ini hanya penyesuaianku saja terhadap keadaan yang membuatku tak diejek lagi bersama Tara, iya ini pasti rasa kosong saat bukan aku yang menjadi bahan ledekan teman-teman sekelas, sejak 3 tahun lalu hanya aku yang menjadi bahan ledekan dengan Tara dan sekarang aku diganti dengan Tiwi. Ya, pasti rasa itu dan memang harus rasa itu.

“Mereka sudah jadian?” Tanyaku pada Bian diangkutan umum sepulang kampus
“Kurang tahu, mungkin iya. Tadikan kamu dengar sendiri, pas Herman bilang semoga cepat diresmikan, Tara bilang belum pasti. Tapi mungkin mereka taaruf” Ujar Bian memegang handphone-nya
Taaruf ya? Tapi mereka emang cocok kok. Tara kan kalem, Tiwi juga” Senyumku yang tak diindahkan Bian

Aku merenung dalam diam. Berpikir yang tak terjamah lagi oleh raihan tangan. Kulihat ratusan kendaraan hilir mudik disekelilingku. Tanpa kusadari kubuang nafas panjang dengan mata yang masih menatap kendaran-kendaraan tadi. Dadaku sesak, polusi di Jakarta memang menyebalkan.

***

“Hujan Bi, kekantin yuk. Beli yang hangat-hangat” Ujarku mendahului Bian
Langkah kakiku berhenti saat handphone-ku bergetar dan terlihat pesan yang berisi gambar Tara dan Tiwi tengah bersama dengan tangan Tiwi yang berpegangan erat pada pinggang Tara. Tanganku gemetar dan kucoba menetralkan ekspresi wajahku.
“Kenapa?” Tanya Bian
“Lapar sampai gemeteran” Senyumku palsu
Dadaku sesak, padahal aku tidak ditengah keramaian jalanan ibukota seperti kemarin. Dalam derasnya hujan, pikiranku berkecamuk mengenang kejadian-kejadian kebersamaanku dengan Tara. Yang tak pernah terbersit sedikitpun… ternyata aku mengaguminya….

Mengaguminya yang tak tersadar dari pikiran normalku. Dia dengan segudang kebaikannya, imam yang baik untuk keluarganya kelak, pribadi yang lembut dengan koleksi novel islaminya. Dan apakah aku terlambat? Terlambat menyadari bahwa aku telah menyukainya bahkan sebelum dia memberikan kue itu padaku, 2 tahun lalu?. Perasaan yang selalu kusangkal dan kini menjadi anak panah yang melesat kehatiku, sakit.

“Tadi Tiwi melewatiku bersalaman saat kita berkumpul di-lobby kampus. Semua teman-teman perempuan dia salami satu persatu, tapi aku dia lewati. Aku merasa seperti hantu” Pesan singkatku pada Prillie
“Bukan gitu kali War, mungkin dia gak lihat kamu makanya kamu dilewatin” Sahut Prillie
“Tapi gak mungkin, aku didepan Bian kok. Bian aja disalami kenapa aku tidak?” Kusentuh tombol reply
“Ya mungkin kamunya gak keliatan War” Sahut Prillie lagi
“Atau mungkin dia ngerasa aku ingin merebut Tara. Ya Tuhan, tidak ada dalam benakku. Aku tidak sejahat itu. Aku senang kok mereka berdua, mereka sangat cocok.” Kubalas Prillie
Kusentuh tombol reply sebelum Prillie sempat membalas “Atau mungkin dia memang tidak melihatku” Aku balas pesan singkat Prillie dengan menghembuskan nafas panjang
“Nah gitu, berpikirlah positif Mawar sayang”

Aku baca kembali setiap pesanku pada Prillie dan kembali mengenang kejadian tadi siang dikampus saat Tiwi hendak pulang. Kebiasaan wanita cantik dengan balutan jilbab yang membalut kepala kecilnya adalah bersalaman saat datang dan pergi, tapi hari ini kebiasaannya sepertinya berubah, menyalami seluruh teman perempuannya kecuali aku.

Adakah yang salah denganku? Apa aku terlihat begitu menakutkan? Apa yang aku telah lakukan sehingga dia memperlakuanku seperti itu? Aku tidak tersinggung, sama sekali tidak. Aku hanya gadis yang mencoba untuk melihat segalanya dari sisi positif seperti yang dikatakan Prillie, tapi aku sedih dia memperlakukanku seperti itu. Bukankah sudah aku katakan aku kalah telak dibanding Tiwi?. Aku telah kalah bahkan sebelum kami bertanding.

Beberapa bulan lalu…

Antara dan Tiwi memang tak mengumbar status hubungan mereka tapi dari cara mereka bercengkrama, bertatapan dan dari gesture tubuh mereka menunjukan bahwa ada sesuatu spesial disana. Aku semakin terjerembab dalam lubang yang kugali sendiri dari usahaku untuk mengalihkan rasa yang kupunya untuk Antara. Yang hanya bisa kukatakan adalah, aku sedih.

Apakah aku tipe yang bisa menyimpan semua keluh kesahku seorang diri tanpa bisa kuekspresikan bahwa aku tengah bersedih? Apa aku tipe yang tak ada seorangpun yang menyangka aku sedang dirundung kesedihan? Apakah tidak terlihat diwajahku. Kumohon aku ingin menangis saat ini, bukan.. bukan karena Antara tapi lebih karena aku menanggung semua ini seorang diri. Aku tetap tertawa diantara semua orang yang meledek Antara dan Tiwi, aku berpesta pora diantara semua orang yang senang melihat mereka merekah karena malu, aku tertawa terbahak-bahak saat mereka mendapat ledekan dari semua orang. Tapi kenyataannya hatiku hancur dan disaat bersamaan tak ada tangan yang terjulur padaku atau setidaknya memenangkanku bahkan hanya dengan kata-kata “Sudah tidak apa-apa War” atau kalimat sederhana “Kamu tidak apa-apa kan War?”. Tidak ada seorangpun yang berdiri dibelakangku saat aku berdiri diguncangan ombak dengan papan kecil yang kunaiki. Yang aku tahu, aku hanya akan jatuh seorang diri tercebur dalam lautan asin yang melingkupi hatiku yang bertambah pedih.

Aku seperti tersenyum, berpesta pora, tertawa terbahak-bahak diatas hati yang kuinjak-injak sendiri. Tapi tak ada yang menghentikan untuk tidak menginjak-injak hatiku. Aku kesepian, hanya aku dan diamku yang menjadi saksi bahwa aku merasa sendiri. Aku menangis dalam hati sunyi yang bahkan aku tak tahu masih adakan yang bersarang disana. Sampai suatu hari aku menemukan bahwa aku bukanlah satu-satunya makhluk malang yang dinamakan pengagum.

Aku mendekat kearah Prillie dan duduk disampingnya di-lobby kampus.
“Kok sendirian? Mas Doddy mana?” Tanyaku pada Prillie yang terlihat muram
“Kenapa?” Tanyaku pada wajah sendu itu
“Kemarin aku ditanya sama temanku” Jawab Prillie
“Trus?” Pancingku
“Mereka tanya apa aku suka sama Doddy?” Sambung Prillie
“Tapi kan emang kamu suka sama Mas Doddy” Kataku
“Memang kelihatan banget ya?” Tampang Prillie tampak kusut
“Gitu deh, terus kamu bilang apa ke mereka?” Aku balik bertanya
“Aku jawab gak tahu, mereka terus mojokin dan bilang kalau kelihatan banget dari wajah aku. Mereka juga bilang kalau mungkin Doddy juga sudah tahu aku suka padanya” Kata Prillie
“Kok bisa?” Tanyaku
“Kata mereka biasanya cowok tahu kalau ada yang sedang suka sama mereka dan cowok itu akan membicarakannnya bersama dengan temannya yang lain” Kata Prillie

Aku mengingat Antara, entah mengapa pikiran ini mempunyai tanda tanya besar. Apa Antara tahu kalau aku menyukainya?

“Tapi kamu suka sama Mas Doddy?” Tanyaku
“Aku gak tahu Mawar, aku gak tahu” Prillie semakin muram
“Kok gak tahu?” Tanyaku lagi
“Aku gak mau bilang kalau aku suka sama dia. Aku takut War, aku takut sakit” Ucap Prillie
Aku diam tak bersuara menunggu ungkapan hati Prillie
“Kamukan tahu War, Doddy mengagumi Tiwi. Dia bilang Tiwi adalah wanita yang akan menjadi istri idaman. Cantik dan sholehah. Dari rasa mengagumi itu mungkin timbul rasa suka yang mendalam. Bahkan dia pernah bilang kalau Tuhan mengizinkan dia ingin menikah dengan Tiwi dan dalam doa-pun dia selalu menyebutkan nama Tiwi” Terdengar hembusan nafas Prillie
“Dan sekarang dia tahu Tiwi mempunyai hubungan dengan Tara. Dia hancur didepan mataku tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa” Suara Prillie melemah
“Tapi kan kamu suka sama Mas Doddy” Kata-kataku terulang kembali
“Aku menyerah sama dia. Menunggu dalam ketidakpastian itu lelah, aku lelah War. Kamu juga pernah merasakan itukan? Jadi kamu tahu bagaimana rasanya kan?. Ketidakpastian itu tidak bisa dipercaya, kamupun tidak ingin percaya pada sesuatu yang tidak pasti atau tidak jelas asal usulnya kan” Ucap Prillie

Aku terhenyak mendengar perkataan Prillie, kulihat dia dengan mata sayu. Terkadang aku iri padanya, bukan… bukan iri pada kondisinya. Tidakkah kalian lihat, aku dan dia berada dalam situasi yang sama. Menjadi pengagum malang, tapi bedanya aku menjadi pengagum dengan tembok besar yang berada diantara Aku dan Tara sedang Prillie menjadi pengagum saat tak ada jarak diantara mereka. Saat mata mereka beradu, saat nafas mereka menderu, saat tawa mereka membahana. Prillie mengagumi pria yang mengagumi wanita lain dan pria itu adalah orang terdekat yang dia punya. Sahabat.

Aku iri dengan semua kekuatan yang dia punya. Dia wanita kuat yang pernah kujumpai. Aku dengan kekagumanku yang kupendam sendiri dan menangis dalam gelapnya malam saat bertemu Sang Pencipta sedang dia, Prillie menghadapi kekagumannya yang bahkan dia tahu apa jawaban yang harus dia terima. Ataukah aku bisa mengubahnya? Aku takkan mungkin mengubah nasibku dengan Antara, sudah kukatakan bukan aku kalah telak darinya. Aku tak berani memukul Tiwi saat aku tahu dia tak memukulku-pun aku sudah terkulai dengan luka membiru yang membuat busuk hatiku. Tapi mungkin berbeda dengan Prillie, mungkin aku bisa membuatnya tidak menjadi pengagum malang sepertiku. Cukup hanya aku yang berdiri pada landasan rasa sakit ini, cukup hanya aku.

“Mas Doddy” Panggilku pada orang yang sedang berdiri didepan papan pengumuman kampus
“Kenapa War?” Tanya Mas Doddy
“Aku ingin bicara sebentar boleh?” Tanyaku
Mas Doddy mengangguk “Bicara apa?”
“Mas Doddy benar-benar suka sama Tiwi?” Tanyaku setelah duduk di-lobby
“Kalau Tuhan mengizinkan aku ingin menikah dengan dia War. Bahkan dalam doa pun nama dia yang kusebut. Maaf ya kalau kedengarannya berlebihan” Ungkap Mas Doddy yang sama persis seperti perkataan Prillie
“Kenapa Mas Doddy yakin banget?” Tanyaku
“Aku juga gak tahu, perasaan itu muncul begitu saja” Ucap Mas Doddy
“Tapikan Mas Doddy tahu kalau Tiwi sudah sama Tara” Aku bergetar menyebut nama Antara
“Aku tahu dan memang aku akui Tara seorang yang sangat baik dan sholeh. Walau terasa harapannya kecil, aku juga tidak bisa berbuat apa-apa bayangan dia selalu memenuhi pikiran ini” Kata Mas Doddy jujur
“Bukankah itu artinya Mas Doddy terpaku pada hal tidak pasti?” Tanyaku
“Aku belum menemukan ketidakpastian diantara mereka. Selama harapan itu masih ada aku akan bertahan memperjuangkan perasaanku sampai akhirnya terungkap aku menemukan kepastian itu” Ungkap Mas Doddy
“Tapi bila ada wanita yang kondisinya sama-sama seperti Mas Doddy bagaimana?. Melihat kesisi sebelah kiri padahal kanan tengah menatap lekat” Kataku
“Setiap hatikan berbeda War dalam menanggapi setiap keadaan” Ungkap Mas Doddy

Kuhentikan pembicaraanku pada Mas Doddy, entah kenapa aku kesal padanya. Kenapa dia tidak melihat sisi kanan yang jelas melihatnya?, kenapa harus melihat sisi kiri yang hanya memberikan punggungnya saja?. Harapan pada seseorang yang sedang berjuang mungkin baik tapi tak bisakah melihat realita seperti yang aku lakukan. Aku tak ingin berharap lagi dari Antara, walaupun aku ingin dia yang menjadi ayah dari anak-anakku, menjadi imam disetiap sujudku, menjadi orang pertama yang mencicipi masakanku tapi angan dan kenyataan tak mungkin bisa bersatu bila kenyataannya hanya satu sisi yang berjuang. Tak bisakah kau lihat itu Mas Doddy? Kau hanya kan menyakiti dirimu sendiri, sama seperti yang kulakukan dulu. Lihatlah sisi kanan, karena kanan adalah sumber dari segala kebaikan. Harapan kecil yang kau bilang itu akan berganti dengan kenyataan besar, hanya dengan satu cara, melihatlah pada sisi yang tengah melihatmu. Jangan terpaku pada hal yang mungkin membuat kamu terobsesi berlebih pada satu hal, Mungkin memang kamu tidak berjodoh dengan Tiwi, begitu juga dengan aku. Mungkin aku juga tidak berjodoh dengan Antara.

Dan mungkin beginilah akhir cerita dari seorang pengagum. Menyembunyikan perasaan sampai perasaan itu menghilang meninggalkan jejak luka pada hati. Pengagum selamanya hanya akan jadi pengagum, menyukai dari jauh, menyayangi dengan doa dan mencintai dalam diam.

***

Aku kembali melihat pada awan yang masih enggan untuk berlalu dengan air yang tak kunjung berhenti untuk ikut menangisi hatiku. Tapi bukankah setelah hujan akan ada pelangi, aku hanya tinggal menunggu pelangi itu datang. Tidaklah sulit untuk menunggu karena menunggu adalah bagian terpenting dari seorang pengagum.

“Menunggu seseorang?”

Aku menoleh mencari tahu sumber suara yang samar-samar kukenali.

Kusimpulkan bibir melengkung membentuk bulan sabit kemudian mengangguk dan tersenyum pada orang yang membuatku menunggu untuk pertama kalinya.

“Iya” Jawabku pada Aris.



--------------------------------------------------------------------------------------------

Cerpen ini dibuat untuk lomba #JCDD2 based on true story..
Untuk nama-nama yang ada diatas yang namanya diambil tanpa izin.. Haha maaf ya ngebocorin kkk.. 
Nama disadurkan *piipp* *piipp* *piipp*
dan akhir kata...
"Setiap akhir cerita kadang ada sedih, bahagia, duka maupun suka. Tergantung dari perpektif mana kalian akan melihat akhir itu. Tapi dari setiap akhir pasti ada satu kata .........
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..."

2 komentar:

Udah bacakan.. mari mari cipika cipiki sama yang punya :)

My Image