#JCDD2 |
Kupercepat langkah menuju halte
pemberhentian bus yang nampak usang tak terawat. Kupendarkan pandanganku
melihat besi-besi yang catnya mengelupas dan berwarna merah bata karena karat
yang tak kunjung dibersihkan. Aku berdiri membelakangi besi berkarat itu yang
dulu merupakan tempat paling nyaman untuk duduk melepas lelah sambil menunggu
bus yang datang menghampiri.
Kutolehkan wajahku keatas dan
membuang nafas panjang melihat tetesan air yang tidak kunjung berhenti
menurunkan kapasitasnya untuk menjatuhkan diri pada apapun yang berada
dibawahnya. Kueratkan jaket lusuh yang membungkus tubuh tak proporsional ini agar
tak bersentuhan dengan hujan yang tak bersahabat.
Kusentuh tetesan air yang berada
dihadapanku dan tersenyum. Senyum getir dan teramat kecut bahkan mungkin kadar
asamnya telah menjalar pada hulu hatiku, pedih. Ya, hatiku pedih teramat pedih
sampai aku ingat hujan adalah awal aku menjadi sang pengagum, pengagum rahasia.
7 tahun lalu..
“Dia lulus” Senyumku merekah
mendengar kabar berita sekolah-ku lulus 100% untuk angkatan 2007-2008
Walau itu artinya aku takkan punya
kesempatan untuk melihatnya, tersenyum padanya bahkan hanya untuk sekedar
meliriknya. Dia kakak kelasku, satu tahun diatasku. Aku menyukainya begitu saja
tanpa ada hal menarik yang bisa membuatku mendekat padanya. Aku hanya cukup
melihatnya dari jauh, mencari tahu namanya, mencari tahu tahun kelahirannya,
mencari tahu alamat rumahnya dan mungkin yang paling menyesakkan mencari tahu
kekasihnya.
Aku mengenalnya tapi dia tak
mengenalku. Hanya cinta sepihak yang harus kutanggung sejak aku kelas 1 SMA.
Tak pernah berbicara, tak pernah menyapa, tak pernah bertegur sapa. Lantas apa
aku berhenti menyukainya? Tidak. Mungkin aku terlalu naïf, tapi sungguh aku
mengharapkannya, mengharapkan dengan seluruh ruang hati yang kupunya.
Nama itu masih tergores disana,
dilubuk hati yang bahkan tak ada pendaran cahaya yang menyinari. Seakan
bersembunyi dan tak ingin mencuat menyuarakan apa yang ada didalamnya. Nama
sederhana dari orang sederhana dengan cinta yang tidak sederhana, cinta
tersembunyi. Dia Aris, Aris-ku yang menjadi langganan doa tak terkabul.
4 tahun lalu..
Aku berjalan menuju mimbar untuk
menyerahkan kuis yang diberikan dadakan oleh dosen yang sudah tidak berada
diruangan. Aku berhadapan pada dia yang berperawakan sedang dengan kemeja yang
terlihat kebesaran tengah meletakkan lembaran kertas diatas mimbar, kami hampir
bertabrakan saat dia berbalik dan aku ingin meletakkan lembaran kertas
jawabanku. Selintas kulirik wajahnya, ekspresinya datar dengan tatapan sinis.
“Apa-apaan tuh cowok?!” Batinku
kesal
Aku kembali ketempat duduk dan
melihat kearah cowok itu. Wajahnya kaku dengan rambut yang sedikit gondrong.
Lelaki tidak sopan, mungkin begitu pikiran yang terlintas saat kesan pertama
berhadapan langsung dengan dia. Dia teman sekelasku dikampus. Ya, ini tahun
pertamaku menjadi seorang mahasiswi.
“Ayo Bi cari pacar. Sudah mau 19
tahun masa begini-begini saja” Ledekku pada teman yang duduk disebelahku
“Lagi diusahakan kok War, nah kamu
sendiri sudah ada yang diincar belum?” Balasnya menyenggol bahuku
“Aku?” Kulirik selintas lagi pada
sosok cowok tidak sopan itu dan melihat Bian lagi “Aku mau cariin kamu dulu saja”
“Yakin? Tara kayaknya oke juga” Bian
tersenyum usil
“Tara? Si Antara itu? Cowok gak
sopan, kaku, jaim, belagu itu? Gak deh, amit-amit” Ujarku bergidik
“Kitakan baru masuk kelas beberapa
minggu ini War, kok kamu sudah tahu dia luar dalam? Wah kamu beneran ada rasa
ya sama dia?” Bian semakin gencar mengejekku
“Bukan gitu” Aku mencoba membela
diri
Masih dengan mempertahankan hatiku
pada satu sosok yang tak terjangkau, Bian mulai menggempur benteng pertahananku
dengan serangan mematikan yang membuat semua teman sekelasku melihat bergantian
antara Aku dan Antara, teman sekelas yang kini melihatku lebih sinis dari
sebelumnya.
Bermula dari ejekan Bian, Aku dan
Antara yang dari awal memang tak pernah berkomunikasi makin jarang berbicara
satu sama lain. Selain karena sikap tak bersahabat Antara juga karena ejekan
teman sekelas yang sepertinya punya mainan yang akan sangat menarik untuk
dipermainkan selama 4 tahun masa kuliah kami. Aku hanya bisa menghela nafas.
3 tahun lalu…
Intensitas bicaraku dengan Antara
sangat jarang bahkan aku sama sekali tidak ingin berbicara dengannya. Dia
terlalu kaku dengan dunianya yang tak pernah bisa kusentuh. Dia sosok yang
sangat ramah, murah senyum dan baik hati dengan seluruh orang yang dia kenal,
kecuali aku. Entah apa yang membedakan aku dengan mereka semua? Atau aku yang
menutup diriku untuknya? Tapi dia benar-benar membuatku tidak nyaman. Aku tidak
menyukainya, dia membuatku mengulang kembali hari-hari 5 tahun yang lalu saat
aku menjadi bual-bualan teman-teman satu sekolah SMA.
“19 tahun tapi masih begini-begini saja”
Aku bersandar pada tembok di-lobby
kampus
“Coba buka hati kamu, jangan lihat
yang itu enggak, lihat yang ini enggak. Tipe-mu terlalu tinggi” Nasihat Teh
Tantri disampingku
“Enggak juga ah, lagi juga nih pintu
sudah dibuka bahkan pintunya sudah jebol,
tapi tetap saja” Elakku
“Yakin?” Teh Tantri melirik dan
tersenyum penuh arti dihadapanku
“Itu Antara” Lanjutnya
Kenapa Antara dan Antara lagi?. Dia
bahkan tidak melihatku, melirik sepintas kearahku-pun tidak, atau mungkin dia
tidak menyukaiku. Bila itu yang dia lakukan, aku akan lakukan hal yang sama.
Dia tidak menyukaiku, akupun tidak akan menyukainya.
2 tahun lalu…
Aku masih duduk termenung didalam
kelas yang masih ramai. Dengan helaan nafas kulihat Bian dan Teh Tantri keluar
tanpa melihat kearahku. Adakah yang salah padaku? Kenapa mereka menghindariku? Bahkan
mereka tak mengucapkan selamat untuk ulang tahunku yang ke-20. Aku merasa
sendirian, sendirian ditengah kerumunan banyak orang.
“Selamat ulang tahun kami ucapkan.
Selamat panjang umur kitakan doakan….
Alunan suara beserta pendaran lilin
bersimbolkan ‘20’ diatas cake
berlumurkan coklat muncul seketika dari balik pintu dan menuju kearahku yang
masih tercengang mendapat kejutan yang tak kubayangkan. Disana terlihat Bian
dan Teh Tantri bersorak sambil tepuk tangan dan teman-teman lain yang turut
merayakan hari kelahiranku. Sosok itu tersenyum lebar dan turut menyanyikan
lagu selamat ulang tahun dengan suara yang tak bisa kudengar jelas. Dia
melihatku dan hanya tertuju padaku, aku hanya bisa melihatnya dengan wajah
memerah yang tak bisa kusembunyikan. Dia bernyanyi dan tersenyum dengan
memegang cake coklat itu, dia Antara.
“Selamat ulang tahun ya Mawar”
Ujarnya setelah aku meniup lilin diatas cake
yang dibawa
“Iya, terima kasih ya Tar” Senyum
tulus menghiasi wajahku
Mungkin dari kejadian tak terduga
itu, hati ini mulai melirik lelaki itu. Lelaki yang kuanggap tidak sopan saat
pertama kali berinteraksi dengannya. Karena dia, aku bisa mengurangi pikiranku
tentang sosok yang tak kuraih seincipun, sosok dari doa tak terkabulku. Entah
karena perasaan apa aku memberanikan diri memberi tahu Bian dan Teh Tantri,
kalau aku mulai mempunyai rasa yang berbeda terhadap Antara. Rasa yang bahkan
aku tidak tahu itu apa?.
Kehidupan 7 tahun laluku terulang
kembali. Aku mulai mencari tahu tentang dia, kulihat setiap hari isi media
sosial-nya. Ya, dia sosok yang gemar memainkan kata-kata untuk para teman
didunia mayanya. Selalu kucoba memberanikan diri untuk mendekatinya,
berinteraksi padanya. Menulis komentar, mengirim SMS, chatting-an di YM. Semua itu selalu bermula dariku dan aku mulai
lelah dengan semua itu. Apa hanya aku yang mempunyai rasa ini? Tapi kenapa dari
setiap SMS-nya selalu membuatku tersipu? Atau hanya aku yang beranggapan
seperti itu? Dan disaat aku mengakhiri semua itu, tak ada lagi komentar, SMS
bahkan chatting dengan dia dan akupun
mulai menjaga jarak dengannya. Aku lelah harus berjuang sendiri, atau mungkin
aku memang berjuang seorang diri dari awal?.
1 tahun lalu…
Perasaanku pada laki-laki kaku itu
kian memudar saat aku mulai menyadari sikap childish,
egois dan perkataannya yang terkesan ceplas
ceplos. Aku tidak menyukainya, sungguh aku tidak menyukainya, aku tidak
menyukai lelaki itu. Tapi nyatanya rasa itu tetap tertimbun didasar hati yang
kukira telah terkikis deburan pikiran tidak suka yang kubuat sendiri.
Sampai suatu hari beredar gambar
Antara dengan seorang wanita tengah berdua, timbul perasaan mengganjal
didadaku. Bukankah aku tidak menyukai lelaki kaku itu lagi, lantas rasa sesak
apa ini?
“Wah War, Tara selingkuh tuh haha”
“Maaf ya War, ngambil gambarnya
diam-diam haha”
“War, Tara sama cewek lain haha”
“Tara, Mawarnya mau dikemanain haha”
Lelucon-lelucon itu bergema
ditelingaku seperti dengungan ribuan lebah yang siap untuk menyengat gendang
telingaku. Inilah saatnya aku memastikan tak ada hati lagi untuk lelaki kaku
itu, lelaki yang mampu mengusir sosok doa tak terkabulku. Ya, ini saat yang
tepat.
“Ya bagus dong kalo Tara sama Tiwi.
Namanya saja sudah cocok, jodoh tuh jodoh” Belaku untuk diriku sendiri dengan
ekspresi senang yang kubuat-buat, hatiku sakit.
“Wah Mawar cemburu tuh Tar” Ejek
temanku yang lain
“Enggak cemburu, lagi juga kan aku
sama Tara gak ada apa-apa. Malah bagus dong Tara sama Tiwi. Sama-sama Sholeh
dan Sholeha” Aku berbohong
Aku tak berani melihat ekspresi
Antara, mungkin dia tengah bahagia sekarang. Tapi dia bahagia diatas hatiku
yang mulai rapuh. Rapuh mempertanyakan rasa yang kupendam untuknya.
Mereka semakin dekat dari hari ke
hari. Aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri, aku cemburu, sungguh aku
tidak suka melihat mereka berdua bersama. Oh mungkin ini hanya penyesuaianku
saja terhadap keadaan yang membuatku tak diejek lagi bersama Tara, iya ini pasti
rasa kosong saat bukan aku yang menjadi bahan ledekan teman-teman sekelas,
sejak 3 tahun lalu hanya aku yang menjadi bahan ledekan dengan Tara dan sekarang
aku diganti dengan Tiwi. Ya, pasti rasa itu dan memang harus rasa itu.
“Mereka sudah jadian?” Tanyaku pada
Bian diangkutan umum sepulang kampus
“Kurang tahu, mungkin iya. Tadikan
kamu dengar sendiri, pas Herman bilang semoga cepat diresmikan, Tara bilang
belum pasti. Tapi mungkin mereka taaruf”
Ujar Bian memegang handphone-nya
“Taaruf
ya? Tapi mereka emang cocok kok. Tara kan kalem, Tiwi juga” Senyumku yang tak
diindahkan Bian
Aku merenung dalam diam. Berpikir
yang tak terjamah lagi oleh raihan tangan. Kulihat ratusan kendaraan hilir
mudik disekelilingku. Tanpa kusadari kubuang nafas panjang dengan mata yang
masih menatap kendaran-kendaraan tadi. Dadaku sesak, polusi di Jakarta memang
menyebalkan.
***
“Hujan Bi, kekantin yuk. Beli yang
hangat-hangat” Ujarku mendahului Bian
Langkah kakiku berhenti saat handphone-ku bergetar dan terlihat pesan
yang berisi gambar Tara dan Tiwi tengah bersama dengan tangan Tiwi yang berpegangan
erat pada pinggang Tara. Tanganku gemetar dan kucoba menetralkan ekspresi
wajahku.
“Kenapa?” Tanya Bian
“Lapar sampai gemeteran” Senyumku
palsu
Dadaku sesak, padahal aku tidak ditengah
keramaian jalanan ibukota seperti kemarin. Dalam derasnya hujan, pikiranku
berkecamuk mengenang kejadian-kejadian kebersamaanku dengan Tara. Yang tak
pernah terbersit sedikitpun… ternyata aku mengaguminya….
Mengaguminya yang tak tersadar dari
pikiran normalku. Dia dengan segudang kebaikannya, imam yang baik untuk
keluarganya kelak, pribadi yang lembut dengan koleksi novel islaminya. Dan
apakah aku terlambat? Terlambat menyadari bahwa aku telah menyukainya bahkan
sebelum dia memberikan kue itu padaku, 2 tahun lalu?. Perasaan yang selalu
kusangkal dan kini menjadi anak panah yang melesat kehatiku, sakit.
“Tadi Tiwi melewatiku bersalaman
saat kita berkumpul di-lobby kampus.
Semua teman-teman perempuan dia salami satu persatu, tapi aku dia lewati. Aku
merasa seperti hantu” Pesan singkatku pada Prillie
“Bukan gitu kali War, mungkin dia
gak lihat kamu makanya kamu dilewatin” Sahut Prillie
“Tapi gak mungkin, aku didepan Bian
kok. Bian aja disalami kenapa aku tidak?” Kusentuh tombol reply
“Ya mungkin kamunya gak keliatan War”
Sahut Prillie lagi
“Atau mungkin dia ngerasa aku ingin
merebut Tara. Ya Tuhan, tidak ada dalam benakku. Aku tidak sejahat itu. Aku
senang kok mereka berdua, mereka sangat cocok.” Kubalas Prillie
Kusentuh tombol reply sebelum Prillie sempat membalas “Atau mungkin dia memang
tidak melihatku” Aku balas pesan singkat Prillie dengan menghembuskan nafas
panjang
“Nah gitu, berpikirlah positif Mawar
sayang”
Aku baca kembali setiap pesanku pada
Prillie dan kembali mengenang kejadian tadi siang dikampus saat Tiwi hendak
pulang. Kebiasaan wanita cantik dengan balutan jilbab yang membalut kepala
kecilnya adalah bersalaman saat datang dan pergi, tapi hari ini kebiasaannya
sepertinya berubah, menyalami seluruh teman perempuannya kecuali aku.
Adakah yang salah denganku? Apa aku
terlihat begitu menakutkan? Apa yang aku telah lakukan sehingga dia
memperlakuanku seperti itu? Aku tidak tersinggung, sama sekali tidak. Aku hanya
gadis yang mencoba untuk melihat segalanya dari sisi positif seperti yang
dikatakan Prillie, tapi aku sedih dia memperlakukanku seperti itu. Bukankah
sudah aku katakan aku kalah telak dibanding Tiwi?. Aku telah kalah bahkan
sebelum kami bertanding.
Beberapa bulan lalu…
Antara dan Tiwi memang tak mengumbar
status hubungan mereka tapi dari cara mereka bercengkrama, bertatapan dan dari gesture tubuh mereka menunjukan bahwa
ada sesuatu spesial disana. Aku semakin terjerembab dalam lubang yang kugali
sendiri dari usahaku untuk mengalihkan rasa yang kupunya untuk Antara. Yang
hanya bisa kukatakan adalah, aku sedih.
Apakah aku tipe yang bisa menyimpan
semua keluh kesahku seorang diri tanpa bisa kuekspresikan bahwa aku tengah
bersedih? Apa aku tipe yang tak ada seorangpun yang menyangka aku sedang
dirundung kesedihan? Apakah tidak terlihat diwajahku. Kumohon aku ingin
menangis saat ini, bukan.. bukan karena Antara tapi lebih karena aku menanggung
semua ini seorang diri. Aku tetap tertawa diantara semua orang yang meledek
Antara dan Tiwi, aku berpesta pora diantara semua orang yang senang melihat
mereka merekah karena malu, aku tertawa terbahak-bahak saat mereka mendapat
ledekan dari semua orang. Tapi kenyataannya hatiku hancur dan disaat bersamaan
tak ada tangan yang terjulur padaku atau setidaknya memenangkanku bahkan hanya
dengan kata-kata “Sudah tidak apa-apa War” atau kalimat sederhana “Kamu tidak
apa-apa kan War?”. Tidak ada seorangpun yang berdiri dibelakangku saat aku
berdiri diguncangan ombak dengan papan kecil yang kunaiki. Yang aku tahu, aku
hanya akan jatuh seorang diri tercebur dalam lautan asin yang melingkupi hatiku
yang bertambah pedih.
Aku seperti tersenyum, berpesta
pora, tertawa terbahak-bahak diatas hati yang kuinjak-injak sendiri. Tapi tak
ada yang menghentikan untuk tidak menginjak-injak hatiku. Aku kesepian, hanya
aku dan diamku yang menjadi saksi bahwa aku merasa sendiri. Aku menangis dalam
hati sunyi yang bahkan aku tak tahu masih adakan yang bersarang disana. Sampai
suatu hari aku menemukan bahwa aku bukanlah satu-satunya makhluk malang yang
dinamakan pengagum.
Aku mendekat kearah Prillie dan
duduk disampingnya di-lobby kampus.
“Kok sendirian? Mas Doddy mana?”
Tanyaku pada Prillie yang terlihat muram
“Kenapa?” Tanyaku pada wajah sendu
itu
“Kemarin aku ditanya sama temanku”
Jawab Prillie
“Trus?” Pancingku
“Mereka tanya apa aku suka sama
Doddy?” Sambung Prillie
“Tapi kan emang kamu suka sama Mas
Doddy” Kataku
“Memang kelihatan banget ya?”
Tampang Prillie tampak kusut
“Gitu deh, terus kamu bilang apa ke
mereka?” Aku balik bertanya
“Aku jawab gak tahu, mereka terus
mojokin dan bilang kalau kelihatan banget dari wajah aku. Mereka juga bilang
kalau mungkin Doddy juga sudah tahu aku suka padanya” Kata Prillie
“Kok bisa?” Tanyaku
“Kata mereka biasanya cowok tahu
kalau ada yang sedang suka sama mereka dan cowok itu akan membicarakannnya
bersama dengan temannya yang lain” Kata Prillie
Aku mengingat Antara, entah mengapa
pikiran ini mempunyai tanda tanya besar. Apa Antara tahu kalau aku menyukainya?
“Tapi kamu suka sama Mas Doddy?”
Tanyaku
“Aku gak tahu Mawar, aku gak tahu”
Prillie semakin muram
“Kok gak tahu?” Tanyaku lagi
“Aku gak mau bilang kalau aku suka
sama dia. Aku takut War, aku takut sakit” Ucap Prillie
Aku diam tak bersuara menunggu
ungkapan hati Prillie
“Kamukan tahu War, Doddy mengagumi
Tiwi. Dia bilang Tiwi adalah wanita yang akan menjadi istri idaman. Cantik dan
sholehah. Dari rasa mengagumi itu mungkin timbul rasa suka yang mendalam.
Bahkan dia pernah bilang kalau Tuhan mengizinkan dia ingin menikah dengan Tiwi
dan dalam doa-pun dia selalu menyebutkan nama Tiwi” Terdengar hembusan nafas
Prillie
“Dan sekarang dia tahu Tiwi
mempunyai hubungan dengan Tara. Dia hancur didepan mataku tapi aku tidak bisa
berbuat apa-apa” Suara Prillie melemah
“Tapi kan kamu suka sama Mas Doddy”
Kata-kataku terulang kembali
“Aku menyerah sama dia. Menunggu
dalam ketidakpastian itu lelah, aku lelah War. Kamu juga pernah merasakan
itukan? Jadi kamu tahu bagaimana rasanya kan?. Ketidakpastian itu tidak bisa
dipercaya, kamupun tidak ingin percaya pada sesuatu yang tidak pasti atau tidak
jelas asal usulnya kan” Ucap Prillie
Aku terhenyak mendengar perkataan
Prillie, kulihat dia dengan mata sayu. Terkadang aku iri padanya, bukan… bukan
iri pada kondisinya. Tidakkah kalian lihat, aku dan dia berada dalam situasi
yang sama. Menjadi pengagum malang, tapi bedanya aku menjadi pengagum dengan
tembok besar yang berada diantara Aku dan Tara sedang Prillie menjadi pengagum
saat tak ada jarak diantara mereka. Saat mata mereka beradu, saat nafas mereka
menderu, saat tawa mereka membahana. Prillie mengagumi pria yang mengagumi
wanita lain dan pria itu adalah orang terdekat yang dia punya. Sahabat.
Aku iri dengan semua kekuatan yang
dia punya. Dia wanita kuat yang pernah kujumpai. Aku dengan kekagumanku yang
kupendam sendiri dan menangis dalam gelapnya malam saat bertemu Sang Pencipta
sedang dia, Prillie menghadapi kekagumannya yang bahkan dia tahu apa jawaban
yang harus dia terima. Ataukah aku bisa mengubahnya? Aku takkan mungkin
mengubah nasibku dengan Antara, sudah kukatakan bukan aku kalah telak darinya.
Aku tak berani memukul Tiwi saat aku tahu dia tak memukulku-pun aku sudah
terkulai dengan luka membiru yang membuat busuk hatiku. Tapi mungkin berbeda
dengan Prillie, mungkin aku bisa membuatnya tidak menjadi pengagum malang
sepertiku. Cukup hanya aku yang berdiri pada landasan rasa sakit ini, cukup
hanya aku.
“Mas Doddy” Panggilku pada orang
yang sedang berdiri didepan papan pengumuman kampus
“Kenapa War?” Tanya Mas Doddy
“Aku ingin bicara sebentar boleh?”
Tanyaku
Mas Doddy mengangguk “Bicara apa?”
“Mas Doddy benar-benar suka sama
Tiwi?” Tanyaku setelah duduk di-lobby
“Kalau Tuhan mengizinkan aku ingin menikah
dengan dia War. Bahkan dalam doa pun nama dia yang kusebut. Maaf ya kalau
kedengarannya berlebihan” Ungkap Mas Doddy yang sama persis seperti perkataan
Prillie
“Kenapa Mas Doddy yakin banget?”
Tanyaku
“Aku juga gak tahu, perasaan itu
muncul begitu saja” Ucap Mas Doddy
“Tapikan Mas Doddy tahu kalau Tiwi
sudah sama Tara” Aku bergetar menyebut nama Antara
“Aku tahu dan memang aku akui Tara
seorang yang sangat baik dan sholeh. Walau terasa harapannya kecil, aku juga
tidak bisa berbuat apa-apa bayangan dia selalu memenuhi pikiran ini” Kata Mas
Doddy jujur
“Bukankah itu artinya Mas Doddy
terpaku pada hal tidak pasti?” Tanyaku
“Aku belum menemukan ketidakpastian
diantara mereka. Selama harapan itu masih ada aku akan bertahan memperjuangkan
perasaanku sampai akhirnya terungkap aku menemukan kepastian itu” Ungkap Mas Doddy
“Tapi bila ada wanita yang
kondisinya sama-sama seperti Mas Doddy bagaimana?. Melihat kesisi sebelah kiri
padahal kanan tengah menatap lekat” Kataku
“Setiap hatikan berbeda War dalam
menanggapi setiap keadaan” Ungkap Mas Doddy
Kuhentikan pembicaraanku pada Mas
Doddy, entah kenapa aku kesal padanya. Kenapa dia tidak melihat sisi kanan yang
jelas melihatnya?, kenapa harus melihat sisi kiri yang hanya memberikan
punggungnya saja?. Harapan pada seseorang yang sedang berjuang mungkin baik
tapi tak bisakah melihat realita seperti yang aku lakukan. Aku tak ingin
berharap lagi dari Antara, walaupun aku ingin dia yang menjadi ayah dari
anak-anakku, menjadi imam disetiap sujudku, menjadi orang pertama yang
mencicipi masakanku tapi angan dan kenyataan tak mungkin bisa bersatu bila
kenyataannya hanya satu sisi yang berjuang. Tak bisakah kau lihat itu Mas
Doddy? Kau hanya kan menyakiti dirimu sendiri, sama seperti yang kulakukan
dulu. Lihatlah sisi kanan, karena kanan adalah sumber dari segala kebaikan.
Harapan kecil yang kau bilang itu akan berganti dengan kenyataan besar, hanya
dengan satu cara, melihatlah pada sisi yang tengah melihatmu. Jangan terpaku
pada hal yang mungkin membuat kamu terobsesi berlebih pada satu hal, Mungkin
memang kamu tidak berjodoh dengan Tiwi, begitu juga dengan aku. Mungkin aku
juga tidak berjodoh dengan Antara.
Dan mungkin beginilah akhir cerita
dari seorang pengagum. Menyembunyikan perasaan sampai perasaan itu menghilang
meninggalkan jejak luka pada hati. Pengagum selamanya hanya akan jadi pengagum,
menyukai dari jauh, menyayangi dengan doa dan mencintai dalam diam.
***
Aku kembali melihat pada awan yang masih
enggan untuk berlalu dengan air yang tak kunjung berhenti untuk ikut menangisi
hatiku. Tapi bukankah setelah hujan akan ada pelangi, aku hanya tinggal
menunggu pelangi itu datang. Tidaklah sulit untuk menunggu karena menunggu
adalah bagian terpenting dari seorang pengagum.
“Menunggu seseorang?”
Aku menoleh mencari tahu sumber
suara yang samar-samar kukenali.
Kusimpulkan bibir melengkung
membentuk bulan sabit kemudian mengangguk dan tersenyum pada orang yang
membuatku menunggu untuk pertama kalinya.
“Iya” Jawabku pada Aris.
--------------------------------------------------------------------------------------------
Cerpen ini dibuat untuk lomba #JCDD2 based on true story..
Untuk nama-nama yang ada diatas yang namanya diambil tanpa izin.. Haha maaf ya ngebocorin kkk..
Nama disadurkan *piipp* *piipp* *piipp*
dan akhir kata...
"Setiap akhir cerita kadang ada sedih, bahagia, duka maupun suka. Tergantung dari perpektif mana kalian akan melihat akhir itu. Tapi dari setiap akhir pasti ada satu kata .........
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh..."
suka, makasih mia :)
BalasHapusWalah dibaca... semsem XD
Hapus