"Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupOfStory Diselenggarakan oleh GIORDANO dan Nulisbuku.com"
Kriingg..
Seperti biasa, lonceng diatas pintu
jati berdengung nyaring menyambut kedatangan setiap tamu yang mengharapkan
sedikit relaksasi dari rutinitas harian. Apalagi dengan tawaran bonus gratis
menghirup semerbak gurihnya udara yang menyerbu rongga pernafasan ditengah
polusi liar Jakarta yang tak memandang bulu. Aroma bebijian kopi yang aduhai,
bisingnya suara grinder, gejolak air
mendidih, seduhan bubuk kopi, hentakan sendok yang beradu dengan cangkir, apa
kalian membutuhkan creamer? mintakan
saja. Bahkan surgapun bisa kita rasakan didunia.
Melihat ekspresi setiap orang
menyeruput kopi masing-masing dengan senyum yang mengembang dan mata terpejam,
mengecap rasa pahit kopi yang menjalar diseluruh ujung sampai pangkal lidah
membuat kehangatan tersendiri, sehangat secangkir kopi yang disajikan dengan
setulus hati.
Apa yang paling menyenangkan di dunia
ini? Adalah saat melihat senyum mengembang dan ucapan terima kasih saat
punggung-punggung itu menyentuh pintu dan berharap esok, lusa, hari-hari
berikutnya mereka kembali lagi menyentuh kehangatan secangkir kopi disini, di
kedai reot yang bahkan hanya segelintir orang yang mengetahui keberadaannya.
Segelintir orang itu salah satunya
adalah wanita berwajah pucat tanpa polesan make
up yang rutin datang dan selalu duduk dikursi yang menghadap meja display biji kopi dengan pesanan yang selalu
sama.
“Chocolate
and choco chip ice blend with whipped cream, medium glass.” Senyumnya
terkembang malu-malu.
“Kami ada varian baru dan akan sangat senang bila Anda
berkenan untuk mencicipinya. Chocofee
with mint. Bijian kopi yang langsung dikirim dari Bali, asam serasa jeruk
di-blend dengan daun mint segar, sensasi
fresh-nya pasti akan memanjakan indra
pengecap Anda.”
“Bukan Saya bermaksud tidak sopan tapi maaf, Saya
tidak bisa meminumnya. Saya memang penikmat kopi, tapi hanya aromanya. Tubuh
ini menolak walau hanya seteguk” Senyum manis dibalik wajah pucatnya bersinar
terang.
Dari
hari itu, Saya mengetahui bahwa ada 3 golongan manusia didunia ini. Pertama,
Pecinta kopi, kedua, Penikmat kopi dan ketiga, bukan keduanya. Wanita itu salah
satu Penikmat kopi tapi dengan caranya sendiri. Banyak pertanyaan muncul saat
melihatnya duduk disana menyeruput coklat ice
blend sembari melihat meja display
kopi. Kenapa dia datang ke kedai kopi ini bila dia tidak bisa meminumnya?
Kenapa harus duduk dikursi yang sama? Dan kenapa selalu menghadap ke meja
display kopi?.
Yang
bisa Saya lakukan hanya memperhatikan, menunggu hingga dia siap untuk menceritakannya.
Sama seperti secangkir kopi yang baru saja dihidangkan, memperhatikan asap
mengepul, meniupnya sesekali dan menunggu untuk siap di-cecap oleh lidah.
Karena hanya itu yang bisa dilakukan oleh sebuah kedai reot bukan?.
Memperhatikan setiap pengunjung dan mendengarkan cerita yang mereka tuangkan
dalam cengkrama bersama secangkir kopi.
“Chocolate and
choco chip ice blend with whipped cream, medium glass.”
Selalu
itu yang dipesan oleh wanita berwajah pucat tanpa make up ini, setiap hari kerja selalu di-jam yang sama. Wajahnya
tidak secantik wanita yang kadang datang kesini dengan gandengan pria berjas
dengan selera yang tinggi, tentunya bila mereka tahu kedai kopi ini adalah
mereka yang mempunyai selera tinggi. Bukan sombong hanya bangga dengan tempat yang
memberikan Saya penghasilan, itu wajar bukan?!.
“Kenapa Anda selalu memesan minuman yang sama setiap
hari? Apa Anda tidak bosan? Kami menyediakan jenis minuman dengan kadar caffeine yang tidak terlalu banyak”
Mulut Saya lancang berujar.
Senyumnya merekah membuat
kesederhanaan menjadi poin plus untuk
kecantikaannya.
“Apa Anda bosan dengan pesanan Saya? Bukan Saya tidak
ingin mencicipi setiap minuman yang ditawarkan disini. Tapi Saya telah
mencoba-nya bahkan jauh sebelum Anda menanyakannya. Kopi luar macam Espresso, Americano, Cappuccino, Latte, Moka
bahkan Frappe. Kopi dalam negeri-pun
tak luput dari indra pengecap Saya, entah itu kopi sachet yang dijual dipinggir jalan, kopi luwak, entah itu kopi dari
Aceh, Sumatra, Jawa, Selawesi bahkan kemasyuran kopi Toraja pernah Saya cicipi.
Dari semua itu satu hal yang Saya tahu adalah mual dengan dada yang
terus-terusan berdebar. Bukankah seseorang meminum kopi untuk merasakan
ketenangan yang ditimbulkan dari caffeine?!
Tapi bila itu menimbulkan ketidaknyamanan haruskah dipaksakan. Cukup dengan menghirup
dan memperhatikan seseorang menyeruput kopi-pun sudah membuat tenang.”
Mendengar
cerita panjang lebarnya membuat Saya tahu seberapa kerasnya wanita ini berusaha
membuat hal yang tidak mungkin menjadi mungkin tapi dengan hasil yang dia-pun
sudah tahu akan berakhir seperti apa. Wanita ini kuat, terbersit begitu saja
pemikiran dalam benak lancang ini.
“Jadi apakah Saya masih bisa mendapatkan minuman
kesukaan Saya sekarang?”
“Tentu, tanpa diminta”
Saya ambil
beberapa sendok bubuk coklat, choco chip,
campuran air gula dan air putih serta beberapa bongkah es kemudian mem-blend-nya jadi satu. Menuangnya pada
gelas plastik berukuran medium dan
menyemprotkan whipped cream yang
dihiasi oleh lumernya coklat dan butiran choco
chip.
“Ini silahkan” Ujar Saya memberikan segelas coklat blend dengan sedotan yang telah
tertancap.
“Terima Kasih”
Tangan
itu menggenggam gelas plastik berembun dan berbalik menuju kursi kesukaannya
yang tepat berada beberapa kaki jauhnya dari meja tempat Saya berdiri.
“Arabica
satu”
Saya
tersenyum ramah mendapat order dari salah satu pengunjung rutin selain wanita tadi.
“Arabica with no
sugar, seperti biasa Pak”
“Selain karena kualitas bijian kopi, juga karena
pelayanan disini yang membuat secangkir kopi didepan Saya ini begitu istimewa.
Terima kasih ya”
Ucapan
pujian yang terlontar dari pengunjung seperti ini yang membuat Saya lupa akan wanita
berwajah pucat yang sedari tadi mengaduk-aduk coklat blend-nya dengan senyum kecil dan pandangan mata tak berkedip.
“Sama-sama Pak. Senang mengetahui Anda merasa istimewa
berada disini” Senyuman Saya tak berhenti berkembang melihat pria berkemeja
biru gelap ini.
Pria
yang setiap hari kerja datang tepat saat jam istirahat kantor dan selalu
memesan kopi hitam tanpa gula yang selalu menemani Saya mengobrol di depan meja
display kopi sampai jam istirahat
kantor berakhir.
***
“Arabica?”
Saya
menggeleng.
“Chocolate ice
blend”
“Tumben Pak” Alisnya naik menandakan pertanyaan.
“Sedang tidak ingin minum kopi saja, apa tidak boleh?”
Pemuda
dihadapan Saya menggeleng dengan senyum yang masih merekah. Andai Saya bisa
senyum setulus itu.
“Small, medium
atau large Pak?”
“Medium. Whipped cream-nya tolong bisa
ditambahkan”
Dia
mengangguk kemudian dengan cekatan mencampurkan semua bahan minuman dan
menyajikan dengan elegan. Seakan hampir setiap hari dia mendapat order menu ini.
“Apa ada yang sering memesan chocolate ice blend?”
“Maksud Anda Pak?”
“Anda memasukkan choco
chip ke dalam ice blend ini sedang
Saya tidak memintanya”
“Oh kesalahan Saya, Saya akan menggantinya”
Saya
menggeleng dan mengambil sedotan yang berada diatas meja kemudian
menyeruputnya. Rasa manis coklat memberikan ketenangan yang tidak bisa ditemui
oleh secangkir kopi hitam. Sama-sama memberikan ketenangan tapi dengan rasa
yang berbeda. Coklat dengan ketenangan tak beresiko sedang kopi dengan
ketenangan yang menimbulkan optimisme.
“Setiap hari memang ada seseorang yang memesan chocolate and choco chip ice blend. Saya
jadi tidak menyadari Anda hanya memesan chocolate
tanpa choco chip. Sekali lagi maafkan
atas kesalahan Saya”
Saya mengambil
tissue yang tersedia disamping sedotan berbalut kertas putih dan meletakkan
diatas meja kemudian menaruh gelas plastik berembun diatasnya.
“Oh benarkah? Kenapa dia memesan minuman seperti itu
di kedai kopi? Dan setiap hari? Tidak masuk akal”
Dia
mengangkat bahu dan melihat kearah belakang kursi yang Saya duduki.
“Setiap hari wanita itu duduk disana, di jam yang sama
dengan minuman yang sama”
“Coklat”
“Iya, dia selalu memesan coklat ice blend dengan choco chip”
“Bukan, maksud Saya. Namanya Coklat, Saya kenal dia”
Sudah
lama tak bersua dengan wanita satu ini. Wanita yang mengenalkan bahwa coklat
juga bisa memberikan ketenangan seperti kopi, karena kopi adalah primadona
dihati Saya. Kopi hitam mengepul diseruput diatas balkon dengan pemandangan
daun teh dan dinginnya udara pagi yang menggigit takkan ada yang bisa
menggantikan, bahkan coklat panas sekalipun.
“Coklat”
Wajahnya
terangkat dan tersimpul senyum khas kesederhanaan yang tak pernah lepas dari
paras ayu wanita Jawa satu ini.
“Hai” Sapanya hangat, sehangat mentari pagi yang
menyinari pepohonan kopi.
***
“Chocolate ice
blend”
Tawanya
renyah memperlihatkan gelas plastik berembunnya dihadapan Saya.
“Kopi?”
Dia
menggeleng dan mengisyaratkan Saya untuk mengangkat chocolate ice blend milik Saya.
“Cheers for
coklat” Tangannya dengan lincah mengarahkan minumannya dan menabrakkannya
kearah minuman Saya.
“Kenapa? Saya tahu kamu tidak menyukai coklat” Ujar
Saya penasaran.
“Bukankah Kamu tahu, kadang kala Saya meminumnya saat
tidak yakin dengan apa yang akan Saya putuskan. Seperti katamu, coklat juga
bisa menenangkan” Senyumnya.
“Kamu itu seperti kopi. Keras, strong, optimis, pemacu adrenalin dan banyak pencintanya. Apa lagi
yang harus di ragukan?”
“Seperti itukah Saya? Terlalu berlebihan. Saya hanya
pencintanya bukan menyerupainya” Senyumnya lagi-lagi terkembang.
“Saya dengar Kamu sering kesini. Bukankah Kamu tidak
bisa minum kopi?” Tanyanya.
“Saya jatuh cinta” Tapi kali ini Saya yang tersenyum.
“Jatuh cinta? Ah sebentar” Tangan pria ini mengambil
sesuatu di saku kemeja coklat gelap yang dikenakannya.
“Telepon dari kantor, sudah lewat dari jam istirahat.
Saya harus kembali”
Saya
mengangguk dan melihat punggungnya menghampiri pintu yang dengan sengaja
menghantam lonceng, sehingga menimbulkan kebisingan untuk beberapa detik.
Kriinngg…
“Saya berharap dapat menemuimu disini lagi besok,
Coklat”
Saya
terperanjat melihat kepala pria itu menyembul dari pintu kemudian tersenyum dan
mengangguk sembari menyeruput sisa chocolate
ice blend.
“Dia alasan Anda?”
Saya
tolehkan wajah dan tersenyum pada pramusaji ramah yang telah berada disamping
Saya.
“Dia alasan Saya untuk mencoba meminum kopi walau
hanya seteguk. Dia alasan Saya mencoba meminum kopi walau itu membawa
ketidaknyamanan. Dia alasan Saya mencoba segala jenis kopi agar impian Saya
dapat terwujud, meminum minuman kesukaannya bersama. Kopi adalah dia, membuat
tidak nyaman, pahit sekali dan meninggalkan ampas. Saya pernah katakan bahwa
Saya penikmat kopi tapi hanya aroma-nya saja.
Ya, Saya penikmat kopi itu, Saya perhatikan kopi itu, Saya tunggu kopi
itu dingin, Saya berusaha meminum kopi itu setengah mati tanpa memperhatikan
resiko yang dapat ditimbulkan, sampai suatu saat, Saya menyadari bahwa Saya
hanya bisa mencium aroma kopi itu saja tanpa bisa mencicipinya.
Memperhatikannya mengepul, diaduk kemudian diseruput sedang Saya hanya bisa
mencium aromanya. Tapi bukan kopi bila tidak membuat ketagihan bukan? Dan Saya
akan mencoba ketidaknyaman itu sekali lagi, rasa pahit itu sekali lagi dan
berharap tidak akan ada ampas itu lagi. Bukankah dia sudah mulai menyukai
coklat?!”
Saya
berdiri dengan mantap meninggalkan gelas plastik yang telah kosong diatas meja
dan menghadap ke pramusaji.
“Saya jatuh cinta padanya bahkan sejak seruputan
pertama, Saya permisi”
***
Dan
akhirnya pertanyaan Saya tentang wanita itu terjawab, seperti yang pernah Saya katakan.
Saya hanya perlu menunggu, seperti menunggu secangkir kopi yang baru saja
dihidangkan, memperhatikan asap mengepul, meniupnya sesekali dan menunggu untuk
siap di-cecap oleh lidah. Kemudian tetap memperhatikan setiap pengunjung dan
mendengarkan cerita yang mereka tuangkan dalam cengkrama bersama secangkir
kopi.
**Finish**
Semoga pada mengerti untuk POV-nya ya.. Setiap tanda *** pasti berubah POV.
Selamat menikmati :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Udah bacakan.. mari mari cipika cipiki sama yang punya :)